Letusan Gunung Tambora Mempengaruhi Kekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo

Para ilmuwan mengatakan, hujan dan lumpur sangat merepotkan tentara Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte di Pertempuran Waterloo.

Oleh DW.com diperbarui 25 Agu 2018, 11:05 WIB
Kaldera Gunung Tambora (Wikipedia)

Liputan6.com, Jakarta - Dampak letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, memang luar biasa. Selain menewaskan sekitar 100.000 orang, material vulkanik yang dimuntahkan ketika erupsi juga mencapai langit Eropa, membuat benua itu mengalami tahun tanpa musim panas sepanjang 1816.

Tidak hanya itu, cuaca dan temperatur Bumi pun berubah. Abu vulkanik bermuatan listrik yang berada di atmosfer menyebabkan cuaca buruk secara global. Ini semua terjadi hanya dua bulan sebelum pertempuran yang mengubah sejarah benua Eropa.

Dr. Matthew Genge dari Imperial College London menemukan bahwa abu vulkanik bermuatan listrik dapat mengakibatkan terjadinya 'arus pendek' di listrik ionosfer --tingkatan langit di atas atmosfer, di mana terjadi pembentukan awan.

Peristiwa ini kemudian menghasilkan hujan lebat di seluruh Eropa dan menyebabkan kekalahan Napoleon Bonaparte.

Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Geologi, Rabu 22 Agustus 2018, mengkonfirmasi adanya kaitan antara letusan dan kekalahan tentara Napoleon Bonaparte.

Dalam makalahnya, Dr. Genge menjelaskan letusan Gunung Tambora dapat menghempaskan abu ke atmosfer pada ketinggian yang lebih dari yang diperkirakan sebelumnya, yaitu bisa mencapai hingga 100 kilometer di atas tanah.

"Sebelumnya, para ahli geologi mengira kalau abu vulkanik terperangkap di lapisan langit yang lebih rendah karena semburan material vulkanik naik secara ringan dan perlahan," ujar Dr. Genge, seperti dikutip dari Deutsche Welle, Sabtu (25/8/2018).

"Namun penelitian saya menunjukkan jika abu dapat melesat ke tingkat lapisan atmosfer atas karena kuatnya daya listrik."

Serangkaian percobaan Dr. Genge membuktikan, kekuatan elektrostatik dapat mengangkat abu jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan daya apung abu itu sendiri.

Ia menciptakan sebuah model untuk menghitung seberapa jauh abu vulkanik dengan muatan listrik bisa melesat ke langit, dan menemukan bahwa partikel yang lebih kecil bisa mencapai ionosfer selama erupsi besar.

"Batu dan abu vulkanik dapat memiliki muatan listrik negatif. Efeknya sangat mirip seperti dua magnet didorong menjauh satu sama lain jika kutub mereka sama," ujarnya.

Hasil eksperimen ini juga konsisten dengan catatan sejarah dari letusan lainnya.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

Saksikan video tentang Gunung Tambora berikut ini:


Minim Referensi Cuaca

Letusan Gunung Tambora (Public Domain)

Pencatatan cuaca pada tahun 1815 bukan hal yang umum dan sangat jarang dilakukan. Jadi, salah satu referensi yang ia pakai untuk menggambarkan keadaan cuaca pada saat pertempuran adalah dari novel Victor Hugo yang berjudul Les Mirables. 

"Hugo bercerita tentang Pertempuran Waterloo: "Langit yang sangat gelap tidak seperti biasanya, cukup gelap untuk meruntuhkan dunia.' Sekarang kita selangkah lebih dekat dalam memahami peran Tambora di Pertempuran ini."

Untuk menguji teorinya, Dr. Genge juga memeriksa catatan cuaca tahun 1883 setelah terjadi letusan gunung api lainnya di Indonesia yaitu Krakatau.

Data menunjukkan suhu rata-rata jadi lebih rendah dan berkurangnya curah hujan segera setelah letusan dimulai. Selain itu, curah hujan secara gobal juga lebih rendah selama letusan bila dibandingkan periode sebelum atau sesudahnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya