Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu bergerak perkasa selama sepekan ini. Hal itu didorong saham kapitalisasi besar dan kecil.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, IHSG menguat 3,19 persen dari posisi 5.783 pada perdagangan 16 Agustus 2018 ke posisi 5.968 pada perdagangan 24 Agustus 2018. Penguatan IHSG terjadi usai aksi jual pada pekan lalu.
Saham-saham berkapitalisasi besar dan kecil yang menguat berkontribusi terhadap penguatan IHSG sepekan. Saham berkapitalisasi besar naik 3,9 persen dan saham kapitalisasi kecil mendaki 2,5 persen hingga perdagangan Kamis pekan lalu.
Baca Juga
Advertisement
IHSG meski menguat, investor asing masih jual saham. Tercatat selama sepekan, investor asing jual saham USD 5,5 juta atau sekitar Rp 80,43 miliar (asumsi kurs Rp 14.624 per dolar AS).
Sementara itu, indeks BINDO yang menunjukkan kinerja obligasi hanya menguat 0,5 perse selama sepekan. Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun bergerak mendatar di kisaran 7,93 persen.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kembali melemah ke posisi 14.649 dari periode pekan lalu di kisaran 14.593. Investor asing pun beli obligasi mencapai USD 66 juta hingga perdagangan Rabu pekan lalu.
Ashmore menyoroti sejumlah sentimen eksternal dan internal yang bayangi laju pasar keuangan dalam sepekan.
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih bayangi pasar keuangan global. Negosiasi perdagangan antara AS dan China gagal untuk membuat solusi atasi ketegangan antara dua negara tersebut.
Pejabat menengah dari kedua negara itu bertemu pada pekan ini di Washington untuk bicarakan perdagangan. Namun, baik China dan AS kompak menerapkan tarif baru pada Kamis pekan ini.
Ada pertemuan dua hari antara delegasi menteri keuangan China dan menteri perdagangan AS untuk akhir ketegangan AS dan China, menurut analis dan pemimpin usaha tidak harapkan banyak dari pertemuan itu.
Selain itu, pelaku pasar juga antisipasi pertemuan Jackson Hole. Pimpinan bank sentral AS atau the Federal Reserve Jerome Powell diharapkan berpidato dalam pertemuan tahunan symposium Jackson Hole pada Jumat waktu setempat.
Pelaku pasar mengharapkan Powell akan membuat pernyataan lebih lembut sehingga dapat menjawab keraguan pasar soal prediksi kenaikan suku bunga the Federal Reserve. Selain itu, the Federal Reserve juga akan membicarakan mengenai dampak negatif perang dagang, melemahnya pasar berkembang dan sektor properti AS yang melambat.
Rilis pertemuan the Federal Reserve juga menjadi perhatian. Pejabat the Federal Reserve mengharapkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) melambat namun tetap kuat. Akan tetapi, perang dagang menjadi sumber ketidakpastian dan risiko.
Pejabat the Fed juga menekankan kemungkinan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil pada kuartal II mungkin didorong oleh faktor-faktor sementara, termasuk peningkatan besar-besaran dalam ekspor AS.
The Federal Reserve juga isyaratkan kemungkinan akan menaikkan suku bunga pada September. Hal ini seiring data ekonomi mendukung the Federal Reserve menaikkan suku bunga.
The Federal Reserve juga menilai kalau perang dagang dalam skala besar dan berlanjut bakal merugikan dunia usaha, investasi dan kesempatan kerja.
Selain itu, kenaikan tarif impor lebih luas akan mengurangi daya beli rumah tangga AS. Efek negatif lebih lanjut juga mencakup pengurangan produktivitas dan gangguan rantai pasokan. Selain itu juga, pelemahan di sektor properti, kenaikan tajam harga minyak dan perlambatan di negara berkembang.
Dari sentimen Jepang, indeks harga konsumen naik menjadi 0,9 persen pada Juli 2018 dari bulan sebelumnya 0,7 persen. Angka tersebut juga jauh di atas konsensus pasar 0,4 persen.
Harga makanan melonjak, diikuti biaya transportasi berkontribusi terhadap inflasi sehingga catatkan inflasi tertinggi sejak Maret 2018.
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Sentimen Internal
Sedangkan dari sentimen internal, pemerintah mengusulkan pertumbuhan penerimaan pajak sekitar 15 persen, belanja sekitar 10 persen sehingga defisit anggaran menjadi 1,84 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya ditargetkan pada 2018 sebesar 2,12 persen.
Dengan pertumbuhan PDB ditargetkan 5,3 persen dan inflasi 3,5 persen, kemungkinan penerimaan pajak itu didorong dari intensifikasi pajak dan pembayaran wajib pajak.
Defisit anggaran 2019 diusulkan 1,8 persen dari PDB. Angka ini lebih rendah dari perkiraan Kementerian Keuangan 2,1 persen dari PDB pada 2018.
Tak hanya itu, Indonesia perkirakan kekurangan pajak lebih rendah. Direktorat Jenderal Pajak perkirakan pengumpulan pajak mencapai Rp 1.351 triliun pada 2018 yang menyiratkan potensi kekurangan pajak Rp 73 triliun. Angka ini lebih rendah dari posisi 2016 sebesar Rp 261 triliun dan Rp 155 triliun pada 2017.
Perkiraan ini didasarkan pada realisasi pajak hingga 20 Agustus 2018 sebesar Rp 760,6 triliun atau 53,4 persen dari target sebelumnya. Realisasi pajak pada Agustus 2018 diperkirakan bisa lebih tinggi lagi.
Advertisement
Hal yang Dicermati ke Depan?
Lalu apa saja yang dicermati ke depan?
Ashmore menyoroti bagaimana respons pemerintah terhadap kondisi eksternal, salah satunya Turki.
Dalam beberapa minggu terakhir setelah mata uang Turki lira melemah dan mendorong mata uang negara berkembang lainnya depresiasi. Pemerintah Indonesia pun terlihat aktif merespons melalui beberapa langkah.
Pertama, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,5 persen.
Sejumlah menteri juga telah berbicara dengan para investor utama baik lokal dan global mengenai rencana jangka menengah dan panjang untuk memastikan kalau makro ekonomi Indonesia mampu bertahan dari ketidakpastian dan tekanan global yang dirasakan negara berkembang.
Lalu apa yang menjadi masalah utamanya?
Ashmore melihat, kekhawatiran utama adalah defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan yang dapat pengaruhi rupiah. Pada awalnya, pemerintah menyatakan defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal II 2018 mungkin bersifat musiman.
Oleh karena itu, neraca transaksi berjalan akan stabil pada kuartal III 2018. Akan tetapi, pandangan itu memudar seiring defisit perdagangan tetap tinggi pada Juli 2018 dan ditambah situasi Turki.
Investor Asing Menilai RI Masih Menarik
Pemerintah pun memiliki sejumlah rencana dilaksanakan untuk atasi defisit tersebut. Pertama, defisit perdagangan terjadi karena pertumbuhan impor yang tinggi. Pemerintah akan batasi impor 500 barang terutama jika melibatkan barang-barang konsumsi.
Impor barang konsumsi tumbuh 60 persen pada Juli 2018. Salah satu caranya mengatasi itu dengan pengenaan tarif. Risikonya akan menjadi tekanan inflasi dalam jangka pendek.
“Namun, kami melihat pemerintah kemungkinan mengambil risiko untuk mengelola stabilitas rupiah dengan banyak biaya input dalam dolar AS,” tulis Ashmore.
Kedua, terkait inflasi dan subsidi energi, Kementerian Keuangan menyatakan kalau anggaran 2019 sharusnya dapat menutup biaya apapun selama tahun berjalan. Pemerintah juga menegaskan kalau diversifikasi sumber pendanaan Indonesia telah membaik.
Pemerintah juga akan tetap terbuka untuk terbitkan obligasi berdenominasi mata uang asing.
Ketiga, untuk mengatasu defisit, pemerintah akan secara aktif fokus pada tiga hal antara lain proyek biodiesel 20 persen, pariwisata dan persyaratan konten lokal. Kombinasi dari ketiganya diharapkan dapat menekan defisit transaksi berjalan dan diharapkan surplus.
Dari implementasi penerapan biodiesel 20 persen bagi seluruh pengguna solar diharapkan dapat menghemat sekitar USD 4 miliar. Kebijakan ini juga dongkrak ekspor minyak kelapa sawit sehingga kontribusi perdagangan mencapai USD 1,5 miliar.
Dari sektor pariwisata diharapkan juga menambah pemasukan USD 7,5 miliar dengan perkiraan jumlah wisatawan meningkat dari 12,5 juta menjadi 20 juta pada 2020. Ini dapat kurangi defisit 60 persen.
Terakhir, menambah konten lokal juga menekan defisit sekitar USD 2 miliar.
"Dalam pandangan kami langkah tersebut bila dilaksanakan benar dalam jangka panjang dapat menuai hasil," seperti dikutip dari laman Ashmore.
Akan tetapi, pemerintah masih hadapi risiko karena stabilitas ekonomi dapat digunakan sebagai alat politik dalam pemilihan umum (Pemilu).
Meski demikian, investor asing masih menilai Indonesia tetap masuk dalam daftar untuk tempat investasi dengan menempatkanya lebih bijaksana dan bertanggung jawab.
Adapun valuasi yang murah dan kebijakan ekonomi yang kuat dapat menjadi kunci menarik bagi Indonesia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement