Liputan6.com, Jakarta “Kalau sering menangis bukan anak Mamah.”
“Masak anak laki-laki cengeng?”
Advertisement
Sebagai laki-laki, kata-kata ini sudah sering kita dengar. Sedari kecil, banyak anak laki-laki dididik untuk menghindari emosi. Kita terbiasa dididik untuk ‘membenci emosi’. Emosi dijadikan sesuatu yang memalukan dan menunjukan kelemahan. Emosi hanya untuk perempuan. Menangis adalah perbuatan orang lemah. Di era ketika banyak orang ingin hidup lebih bebas dari kepalsuan dengan mengedepankan authenticity dan vulnerability, laki-laki di Indonesia masih terkena stigma negatif kalau ingin menangis atau sekadar ingin bicara dari hati ke hati.
Laki-laki Juga Manusia Biasa
Laki-laki itu makhluk emosional, sama seperti perempuan. Bagi saya, tidak ada istilah perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki. Hal ini serupa dengan fakta bahwa perempuan itu makhluk seksual, sama seperti laki-laki. Perempuan juga bisa bercanda mesum seperti halnya laki-laki. Pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan seperti itu hanyalah konsepsi masyarakat yang mengingikan laki-laki harus kuat dan menuntut perempuan agar lebih sopan (tidak nafsuan). Maka dari itu, untuk urusan seksual, perempuan lebih banyak menahan hasratnya. Untuk urusan emosi, laki-laki hanya lebih ahli memakai topeng dan menyembunyikan emosinya. Atau lebih parah lagi, laki-laki sering tidak mengenal emosinya. Akhirnya, kita hanya bisa marah-marah saat sedang sedih atau kecewa karena hanya itu cara yang kita tahu.
Secara global, perempuan memang lebih rentan terhadap berbagai turbulensi emosi. Akan tetapi, hal ini juga disebabkan oleh perempuan yang memiliki fluktuasi hormon lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan juga lebih ruminative atau sering memikirkan sesuatu berulang-ulang. Terlebih lagi, perempuan zaman sekarang memiliki peran ganda: pekerjaan kantoran dan pekerjaan domestik. Perempuan punya peran ganda karena laki-laki zaman sekarang pun masih banyak yang mengadopsi pola patriarki. Perempuan, dengan beban kerja kantoran yang dimiliki, masih harus urus sumur, dapur, dan kasur. Laki-laki tak mau mengurusi urusan rumah tangga dan meninggalkan semua beban pada perempuan. Alasan terakhirnya, perempuan lebih bisa terbuka akan permasalahan emosi dan mencari pertolongan. Maka dari itu, data perempuan yang mengalami gangguan jiwa tercatat lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Kalau laki-laki? Biasanya laki-laki hanya menyalurkan emosinya ke olahraga atau mengepul asap rokok di pojokan kampus/kantor. Maka dari itu, saat laki-laki sedang stress, jumlah rokok yang dihisap biasanya lebih banyak. Kalau lebih tidak terkendalikan lagi, laki-laki bisa menjadi abusive alias pelaku KDRT karena mereka memiliki masalah kejiwaan yang tak bisa terekspresikan. Laki-laki hanya bisa menyalurkan emosinya dalam bentuk marah-marah ke sosok-sosok terlemah di sekitarnya: anak dan perempuan.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini
Saksikan juga video berikut ini:
Apakah Laki-laki Tidak Bisa Depresi?
Secara statistik, memang perempuan yang lebih rentan depresi. Akan tetapi, penelitian selama 50 tahun membuktikan pria lebih banyak bunuh diri dibandingkan perempuan. Hal ini karena laki-laki biasanya hanya memendam emosi. Bagaimana bisa mengakui dirinya sedang depresi kalau dari kecil sudah diajarkan untuk tidak boleh menangis? Menangis hanya untuk perempuan atau banci.
Di Britania Raya, kampanye kesehatan mental sedang digalakkan luar biasa. Kesehatan mental laki-laki juga menjadi salah satu prioritas. Di tahun 2014 saja, kasus bunuh diri pada laki-laki mencapai 76% dari semua kasus bunuh diri. Bunuh diri pada laki-laki menjadi pembunuh terbesar laki-laki usia produktif di bawah 45 tahun. Sampai-sampai, isu kesehatan mental di UK didiskusikan oleh Lady Gaga dan Prince William via Skype. Apalagi Lady Gaga berani buka-bukaan tentang kekerasan seksual yang ia alami dan bisa menginspirasi laki-laki korban kekerasan seksual untuk buka suara.
Bagaimana di Indonesia?
Sayangnya, di Indonesia belum ada data yang lengkap tentang kasus bunuh diri. Badan Pusat Statistik (BPS) hanya bisa mencatat 812 kasus bunuh diri pada tahun 2015 di seluruh Indonesia berdasarkan catatan kepolisian. Padahal, prediksi WHO mengenai bunuh diri di Indonesia bisa mencapai 10.000 kasus pertahun. Saya yakin, data riil kasus bunuh diri di lapangan pasti lebih banyak yang tidak tercatat. Namun, kita belum bisa memastikan berapa banyak laki-laki yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.Biarpun tidak ada data yang lengkap, sekiranya bisa direnungkan bagaimana laki-laki di Indonesia, dengan budaya patriarki, mengelola emosinya. Silakan cek diri sendiri (jika kalian laki-laki), cek pacar laki-laki kalian, atau coba ingat-ingat tempramen ayah, paman, kakek, atau kakak laki-laki. Adakah yang sekiranya emosian?
Saya, yang kebetulan laki-laki, sudah tidak malu lagi untuk menunjukkan kesedihan. Bahkan, saya buka-bukaan tentang depresi yang saya alami di blog pribadi saya (tidak perlu seekstrem ini). Bagi saya, laki-laki juga berhak mengeluarkan air mata dan mengakui emosinya. Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad pernah menangis, Yesus pernah menangis. Mahatma Gandhi dan Martin Luther King juga pernah menangis. Soekarno pun pernah menangis. Lalu, kenapa kita enggan mengakui emosi dan mengeluarkan air mata kita? Bagi saya, sudah saatnya laki-laki menerima emosi sebagai bagian dari dirinya.
Tulisan Regis Machdy dari Pijar Psikologi untuk Liputan6.com
Advertisement