Liputan6.com, London - Menurut statistik terbaru yang dilansir Organisasi Buruh Internasional (ILO), lebih dari 400 juta dari total 1,8 miliar tenaga kerja aktif di seluruh dunia bekerja 49 jam atau lebih per minggunya.
Budaya bekerja 'berjam-jam' ini disebut justru memperbesar peluang masalah dibandingkan mencapai harapan. Ada banyak bukti bahwa kerja lembur mengurangi produktivitas seseorang, dan membuatnya lebih mungkin terkena berbagai macam penyakit.
Dikutip dari BBC pada Minggu (26/8/2018), orang yang menekuni jam kerja panjang akan lebih banyak menerima risiko, bahkan ketika tidak sedang dalam kondisi lembur sekali pun.
Sebuah studi yang menganalisis 13 tahun catatan pekerjaan di AS menemukan bahwa "bekerja dengan jadwal lembur berkaitan dengan tingkat bahaya cedera 61 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan tanpa lembur".
Baca Juga
Advertisement
Studi khusus ini tidak menyebutkan bahwa kelelahan akibat bekerja sangat keras adalah penyebab utama peningkatan risiko di atas, tetapi ada banyak bukti yang menunjukkan hal ini mungkin terjadi.
Misalnya, jika seseorang bangun pukul 08.00 pagi dan masih terjaga hingga pukul 01.00 malam di keesokan harinya, maka kinerja fisiknya kemungkinan akan lebih buruk daripada mereka yang tengah memiliki konsentrasi alkohol dalam darah sebanyak 0,05 persen.
Singkat kata, seseorang yang mengalami kondisi kerja seperti contoh di atas, bisa dipastikan tengah berada dalam kondisi mabuk lembur.
Kabar buruknya, terkadang hal ini menyebabkan dampak yang lebih parah apabila merujuk pada mereka yang bekerja untuk perusahaan dengan zona waktu berbeda.
Sebagai contoh, sering terjadi untuk pekerja lepas di Asia Tenggara dan Afrika, yang disewa jasanya oleh perusahaan di AS, Inggris atau Eropa untuk melakukan hal-hal seperti pengkodean, unggah blog aktif, pengembangan situs web atau pengelolaan media sosial.
Beberapa penelitian baru-baru ini yang dipimpin oleh Alex J Wood, dari Oxford Internet Institute, mengungkapkan bahwa algoritma yang dikerjakan oleh para pekerja ini adalah penyebab kuat untuk bekerja lembur secara berkelanjutan.
Menurut Wood, "dampak yang paling jelas adalah kurang tidur", yang memperkuat lingkaran setan dari fenomena bekerja berjam-jam dengan tidur hanya "sekelebat mata" alias singkat.
"Orang-orang akan menjadi lebih produktif jika mereka tidak memiliki waktu (kerja) yang panjang ini. Namun, bisnis saat ini memaksa banyak pekerja untuk memaksimalkan produktivitas melalui lembur, guna mencapai target dan tenggat waktu," jelas Wood.
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Simak video pilihan berikut:
Selalu ‘siap Sedia’
Era ketika pekerjaan berakhir ketika seseorang meninggalkan kantor sudah lama hilang. Memeriksa dan menjawab pesan dari pekerjaan tampaknya tidak dapat dihindari, dan bahkan ada yang menginginkannya, karena mereka merasa hal itu memungkinkan untuk mengungguli pesaing, atau menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga tanpa kehilangan jejak pekerjaan mereka.
Seperti yang ditulis oleh makalah akademis tahun 2006 karya Ian Towers, seorang peneliti dari SRH Hochschule di Berlin, teknologi seluler "meningkatkan fenomena: para manajer dan kolega mengharapkan staf hampir selalu siap sedia untuk bekerja (on call)".
Namun, menjadi 'on call' tidak sama dengan tidak bekerja dan cara tubuh manusia bereaksi terhadap kedua situasi tersebut sangat berbeda.
Sebuah studi pada 2016 lalu menemukan fakta bahwa kadar kortisol (hormon yang memainkan peran dalam meningkatkan stres) meningkat lebih cepat di pagi hari pada orang yang terbiasa 'on call', daripada mereka yang bekerja konvensional.
Hormon ini biasanya memiliki konsentrasi puncak saat bangun tidur dan kemudian berkurang di sepanjang sisa hari.
Namun, masih menurut penelitian yang sama, situasi tertentu akan membuat tingkat stres bertahan sepanjang hari, dan berisiko menjadi kronis. Salah satu contohnya adalah ketika seseorang memikirkan hari yang menegangkan.
Advertisement