Laporan PBB: Militer Myanmar dan Aung San Suu Kyi Bertanggung Jawab atas Genosida Muslim Rohingya

Tim pencari fakta PBB menegaskan, pemimpin militer Myanmar, harus didakwa dengan tuduhan bertanggungjawab atas tindakan mereka terhadap muslim Rohingya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 27 Agu 2018, 19:20 WIB
Pemandangan Kamp Pengungsi Kutupalong, Bangladesh, 30 April 2018. Ada sekitar 700 ribu pengungsi Rohingya yang kini terancam dengan banjir dan tanah longsor mengingat semakin mendekatnya musim hujan. (AP Photo / A.M. Ahad)

Liputan6.com, Jenewa - Sebuah laporan tim pencari fakta PBB menegaskan bahwa para pemimpin militer, termasuk panglima tertinggi Myanmar, harus diselidiki dan didakwa dengan tuduhan bertanggungjawab dalam genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang, atas tindakan mereka terhadap kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk setengah juta muslim Rohingya, di Negara Bagian Rakhine Agustus 2017 lalu.

Laporan itu, yang dikemukakan di Jenewa pada Senin 27 Agustus 2018 oleh Misi Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB, merupakan hasil penyelidikan selama kurang-lebih satu tahun, dengan mewawancarai narasumber dan saksi, meriset, dan menganalisis berbagai data yang ditemukan.

Dalam laporannya, TPF Myanmar menemukan bahwa Tatmadaw (nama asli angkatan bersenjata Myanmar) telah mengambil tindakan yang "tidak diragukan lagi merupakan kejahatan yang paling berat di bawah hukum internasional," demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (27/8/2018).

Laporan itu juga menyebut bahwa panglima tertinggi militer Myanmar, Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan didakwa atas dugaan mendalangi genosida dan kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara, serta mendalangi kejahatan perang di Negara Bagian Kachin dan Shan.

Pencarian fakta juga melampaui rentang waktu Agustus 2017, dan menemukan bahwa militer Myanmar terindikasi melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas sejak 2011. Laporan itu juga menambahkan bahwa lembaga keamanan Myanmar lainnya juga terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut.

"Atas alasan apapun, tidak akan pernah ada pembenaran bagi aksi militer yang melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu, beramai-ramai memperkosa perempuan, menyerang anak-anak, dan membakar seluruh desa," kata laporan TPF Myanmar.

"Tatmadaw telah menggunakan taktik yang tidak konsisten dan tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya, terutama di Negara Bagian Rakhine, dan juga di Myanmar utara," tambah laporan itu.

Misi pencarian fakta menyimpulkan bahwa ada "informasi yang cukup" untuk membuka penyelidikan genosida dan kejahatan perang terhadap jenderal-jenderal senior Myanmar.

Aung San Suu Kyi Juga Disebut Bertanggungjawab

Laporan TPF Myanmar juga menyebut bahwa pemerintah sipil, yang secara de facto dipimpin oleh pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, turut bertanggungjawab atas krisis kemanusiaan yang menimpa kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk muslim Rohingya, di Myanmar.

Pemerintah sipil, kata laporan itu, "telah gagal untuk menyuarakan penentangan atas peristiwa yang terjadi, menyebarkan 'narasi palsu', mengawasi penghancuran bukti di negara bagian Rakhine dan menghalangi penyelidikan independen."

"Melalui tindakan dan kelalaian mereka, pihak pemerintah sipil telah berkontribusi terhadap kejahatan keji tersebut," tambah laporan TPF Myanmar.

"Aung San Suu Kyi tidak menggunakan posisi de facto-nya sebagai kepala pemerintahan, dan tak juga menggunakan moralitasnya, untuk membendung atau mencegah peristiwa yang terjadi di Rakhine."

"Pemerintah dan Tatmadaw telah mengembangkan iklim di mana pidato kebencian tumbuh subur, pelanggaran hak asasi manusia dilegitimasikan, serta hasutan untuk diskriminasi dan kekerasan justru difasilitasi."

Juru bicara pemerintah dan militer Myanmar disebut belum memberikan komentar ketika dimintai keterangan oleh berbagai media asing.

Sebelumnya, para pemimpin Myanmar telah mengutarakan dalih dengan menegaskan secara pribadi kepada pejabat asing yang mempertanyakan krisis Rohingya bahwa Naypyidaw tidak mengontrol para jenderal militer atau tindakan mereka.

Namun, secara publik, pemerintah sipil mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan angkatan bersenjata (Tatmadaw), berkomitmen untuk memukimkan kembali ratusan ribu orang muslim Rohingya yang melarikan diri setelah tindakan keras militer, dan bekerja untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan di negara bagian Rakhine.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

Simak video pilihan berikut:

 


Daftar Figur Prioritas yang Harus Segera Didakwa

Bocah-bocah Rohingya bermain riang selama perayaan Idul Adha di kamp pengungsi Kutupalong, Bangladesh, Rabu (22/8). Bagi kebanyakan pengungsi, ini adalah Iduladha pertama sejak mereka diusir secara paksa dari Myanmar tahun lalu. (AP/Altaf Qadri)

TPF Myanmar juga telah menyusun daftar pelaku yang harus diprioritaskan untuk penyelidikan dan pendakwaan, demikian seperti dikutip dari The Washington Post.

Daftar itu dimulai dengan panglima tertinggi, Min Aung Hlaing, yang sejauh ini selalu terhindar dari sanksi atau kecaman khusus dari pemerintah internasional, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Laporan misi itu juga menyebutkan lima komandan militer lainnya - wakil komandan utama Soe Win, Aung Kyaw Zaw, Maung Maung Soe, Aung Aung dan Than Oo, semuanya memimpin divisi militer yang melakukan operasi di negara bagian Rakhine dan tempat lain di Myanmar.

Maung Maung Soe termasuk yang pertama dijatuhi sanksi oleh beberapa negara dan dipecat --atau dikambing-hitamkan-- oleh militer Myanmar pada bulan Juni dalam sebuah gerakan yang secara luas dilihat sebagai cara bagi para pemimpin senior untuk menunjukkan bahwa mereka mengambil tanggung jawab atas krisis tahun lalu.

Dia memimpin Komando Barat, yang mengawasi negara Rakhine, hingga November lalu. Keputusan itu, yang menurut mantan pejabat tinggi militer, dibuat oleh Min Aung Hlaing sendiri, sangat tidak populer di kalangan militer, yang percaya dia dijadikan kambing hitam untuk melindungi lebih banyak pemimpin senior.

TPF Myanmar, yang didirikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB, merekomendasikan bahwa Dewan Keamanan merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Pidana Internasional, atau membuat pengadilan pidana internasional ad hoc, dan memberlakukan embargo senjata pada Myanmar.

Dewan Keamanan PBB bertemu hari Selasa 28 Agustus, tetapi pengamat mengatakan tidak mungkin bahwa tindakan yang menentukan akan datang dari badan PBB itu.

China, anggota permanen dewan dan tetangga di utara Myanmar, telah membela Naypyidaw sejak awal krisis, dan menjanjikan bantuan pembangunan sejalan dengan strategi pemerintah di negara bagian Rakhine, melihatnya sebagai cara untuk mendapatkan kembali pengaruh yang hilang sejak Myanmar memulai hubungan hangat dengan Barat, The Washington Post melaporkan.

Min Aung Hlaing, panglima tertinggi, baru-baru ini mengunjungi Rusia --salah satu anggota permanen DK PBB-- di mana dia berbelanja senjata.

TPF Myanmar akan menyajikan laporan yang lebih lengkap dengan fakta-fakta dan analis hukum yang lebih rinci kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 18 September 2018 mendatang.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya