Liputan6.com, Banyumas - Warung mungil itu tertutup rapat. Pintu, jendela, hingga lobang angin ditutup penuh. Udara siang begitu menjerang Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, pada kemarau akhir Agustus 2018 ini.
Seorang perempuan berkerudung duduk di depan warung. Dari kejauhan ia nampak seperti seorang musafir yang kelelahan dan meminjam kursi untuk beristirahat. Tangan kanannya memegang sebilah tongkat.
Ternyata, semua dugaan salah. Dia lah sang pemilik warung. Bilah kayu yang dikira tongkat rupanya sapu. Sesekali, ia mengibaskan sapu ke kawanan monyet yang mendekati pintu warungnya.
"Kalau nggak ditutup ya habis semua sama monyet," ucapnya sekilas lalu, sembari menyeduh kopi pesanan.
Di dalam warung, boneka singa ukuran sedang yang tersungkur di dipan. Boneka berwarna cokelat muda dengan rumbai panjang itu kelihatan kusut. Kegagahannya tertutup perkakas dapur lain yang acak-acakan.
Baca Juga
Advertisement
Nama pemilik warung itu Karsini. Usianya 40 tahun. Ia lahir dan tumbuh di sekitar Masjid Saka Tunggal Cikakak. Hutan sekitar masjid kuno ini adalah pusat kawanan monyet.
Kini ia tinggal sedikit lebih jauh dari Masjid Saka Tunggal, sekitar 500 meter. Namun, ia mendirikan warung mungil di tempat yang kini banyak dikunjungi wisatawan dan peziarah.
"Sekarang monyetnya sudah tidak takut lagi dengan boneka. Ini, malah digigit," katanya, sembari memperlihatkan pantat boneka singa yang robek.
Akhir-akhir ini, warga Cikakak memang resah. Pasalnya, kawanan monyet masuk lebih dalam ke permukiman penduduk.
Genteng pecah dan asbes bocor oleh kawanan monyet yang berlarian di atap rumah. Buah mangga yang masih muda pun habis dirontokkan kawanan monyet nakal ini. Pun, dengan tanaman di lahan pertanian penduduk.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini
Saksikan video pilihan berikut:
Warga Resah, Tapi...
Daya rusak kawanan monyet ini bertambah ketika kemarau tiba. Pasalnya, jumlahnya terhitung sangat besar. Konon ada lima kelompok monyet dengan jumlah populasi total mencapai 500-an ekor.
"Ya rusak semua. Masih kecil saja sudah dicabuti," dia menerangkan, Senin, 27 Agustus 2018.
Pada musim kemarau seperti ini, monyet semakin agresif. Diduga makanan di tengah hutan semakin menipis. Imbasnya, mereka masuk ke permukiman dan merusak tanaman di lahan pertanian.
"Itu kalau ada pohon yang ada buahnya kan dipetik, jatuh ke genteng, ya rusak," dia menuturkan.
Warga sudah bertahun-tahun resah dengan kelakukan monyet nakal ini. Namun, sepertinya mereka tak hendak menyakiti, apalagi membunuh monyet-monyet ini.
Mereka sadar, kawanan monyet ini sudah ada semenjak puluhan tahun lalu. Monyet ini telah tinggal secara turun temurun di hutan sekitar masjid. Pun dengan masyarakat Cikakak yang juga secara turun temurun tinggal di permukimannya.
"Nasi, apa saja ya diambil. Ya paling digusah (diusir). Jendela tidak boleh terbuka," katanya.
Bahkan tak jarang warga memberi makanan sisa untuk monyet yang kelaparan. Paling sadis, mereka melemparkan ban motor untuk mengusir kawanan monyet.
Tak diketahui pasti kenapa monyet-monyet ini begitu takut dengan ban motor. Dari cerita yang beredar pernah ada monyet yang tertabrak sepeda motor. Ada pula yang menduga monyet mengira ban motor itu sebagai ular besar.
Hanya, kelakuan monyet dulu dengan sekarang memang jauh berbeda. Lamat-lamat dalam ingatan Karsini, saat ia masih kecil, monyet-monyet ini jarang melanggar jalan dan menyeberang ke permukiman penduduk. Mereka pun tak pernah merusak tanaman.
Advertisement
Beda Kelakukan Monyet Dulu dan Sekarang
Karsini bercerita, pernah, suatu ketika, tanaman warga diserang monyet. Tetapi monyetnya justru keracunan.
Diduga monyet-monyet ini memakan kacang Benguk. Dalam jumlah berlebihan, Benguk diyakini bisa menyebabkan keracunan atau dalam bahasa lokal, Wuru. Tak hanya untuk hewan, manusia pun bisa keracunan.
"Saya tidak ingat ada yang mati apa tidak. Tapi sejak saat itu aman lagi, tidak ada yang diserang monyet," dia mengungkapkan.
Namun keadaan aman dan kondusif itu tak berlangsung selamanya. Sejak kawasan Masjid Saka Tunggal banyak dikunjungi wisatawan atau peziarah, monyet-monyet jadi semakin berani.
Wisatawan atau peziarah yang datang kerap memberi makanan kepada monyet-monyet ini. Imbasnya, kawanan monyet tak mau mencari makanan di dalam hutan. Mereka pun berubah jadi sekelompok hewan manja.
Dulu, monyet masih takut bertemu dengan manusia. Namun kini, tiap kali ada orang datang, monyet justru mengikuti. Monyet ini menunggu diberi makanan oleh wisatawan.
"Sekarang kalau ada yang datang diikuti. Dikira mau kasih makanan mungkin ya," ucapnya.
Beruntung, sepekan ini, Perhutani mengirimkan jagung tiap hari. Serangan monyet pun berangsur surut. Sepekan terakhir, kawanan monyet berubah manis.
Tetapi, Karsini tak tahu berapa jumlah jagung yang dipersiapkan Perhutani untuk memberi makanan monyet. Saat makanan habis, dipastikan monyet bakal kembali mengganas.
"Ini sudah semingguan ada kiriman jagung dari Perhutani. Tapi nggak tau sampai kapan," imbuhnya.