Liputan6.com, Yogyakarta - Nuklir selama ini masih menjadi momok menakutkan bagi orang banyak. Ketakutan terhadap daya hancurnya membuat orang fobia.
Namun, siapa sangka jika digunakan dalam dosis kecil, nuklir justru bisa menjadi bahan medis yang bermanfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit dalam, termasuk kanker. Di Indonesia, ada 15 rumah sakit yang menggunakan kedokteran nuklir sebagai salah satu layanannya.
"Kedokteran nuklir menggunakan bahan radioaktif untuk tujuan diagnostik, terapi, dan penelitian," ujar Husein S Kartamihardja, Guru Besar Kedokteran Nuklir Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, dalam jumpa pers Rapat Koordinasi Nasional Keselamatan Radiasi pada Fasilitas Kedokteran Nuklir di Yogyakarta, Selasa, 28 Agustus 2018.
Baca Juga
Advertisement
Ia mengungkapkan kekhasan dari kedokteran nuklir lebih spesifik. Artinya, diagnosis bisa dilakukan di tingkat awal, yakni fungsional maupun molekuler, sehingga deteksi penyakit bisa lebih dini dan pengobatan lebih baik.
Pengobatan dengan memanfaatkan bahan radioaktif juga mengedepankan personalized medicine.
"Penyakit sama, diagnosis sama, diobati sama, belum tentu hasilnya sama oleh karena itu harus memperhatikan orang per orang," ucapnya.
Husein memaparkan cara kerja radioaktif langsung ke target sel atau titik yang harus diobati, demikian pula dengan terapinya. Penggunaan radioaktif biasanya diinjeksikan langsung ke dalam tubuh dan dialirkan ke titik sasaran melalui darah.
Di luar negeri, kedokteran nuklir sudah berkembang. Sejumlah terapi yang dilakukan dengan radioaktif, antara lain, terapi khusus untuk kanker, seperti kanker prostat, hati, kelenjar getah bening, dan tumor endokrin.
Kedokteran nuklir di Indonesia banyak digunakan untuk pengobatan kanker tiroid atau kelenjar gondok. Di Bandung, nuklir sedang dikembangkan untuk pengobatan kanker prostat.
Menurut Husein, paparan radiasi dengan radioaktif untuk pengobatan tidak sebanyak di radiologi.
"Kalau ditanya nuklir bahaya atau tidak, sama seperti mengatakan air berbahaya atau tidak, dalam skala kecil nuklir bermanfaat," kata Husein.
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Simak video menarik berikut di bawah:
Indonesia Terhambat
Husein menjelaskan sebenarnya perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia tidak terlalu baik. Hanya ada 42 dokter spesialis nuklir di Indonesia.
"Bandingkan dengan jumlah penduduk yang mencapai ratusan juta jiwa," tuturnya.
Selain itu, kendala yang kerap ditemui pengguna kedokteran nuklir, antara lain, implementasi pelayanan perizinan pemanfaatan tenaga nuklir secara elektronik, perkembangan teknologi, dan kesiapan pendidikan tinggi.
Pasien yang berobat dengan radioaktif juga bisa menggunakan BPJS, sehingga biaya pengobatan tidak mahal. Namun ada beberapa kasus rumah sakit harus mengeluarkan biaya lebih karena radioaktif lebih mahal.
"Rumah sakit swasta kebanyakan tidak membuka layanan radioaktif karena merugikan secara bisnis, dan keterbatasan pelayanan medis ini juga menghambat pengobatan," kata Husein.
Ia mencontohkan, di Bandung ada pasien tiroid harus masuk daftar tunggu selama 18 bulan untuk pengobatan nuklir.
"Bayangkan orang kena kanker harus menunggu 18 bulan untuk berobat, padahal kanker tiroid ini memiliki survival rate yang relatif panjang," ucapnya.
Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional Yogyakarta, Yohanes Sardjono sedang meneliti pengobatan menggunakan Boron Neutron Cancer Therapy (BNCT). Teknologi terapi kanker terkini ini memiliki sifat cell targeting, sehingga hanya sel kanker yang mati dan efek ke sel sehat nyaris tidak ada.
"Akurasinya 95 persen," tuturnya.
BNCT akan diluncurkan pada 2020 sampai 2022 dan pengadaan neutrons tidak perlu menggunakan reaktor nuklir, melainkan cukup dengan akselerator yang berfungsi mengakeselerasi partikel.
Ia berharap pemerintah menaruh perhatian dan menaruh investasi pada proyek kesehatan yang bermanfaat bagi semua orang ini. Ia menambahkan BNCT sudah diterapkan di Jepang dan Eropa sejak berpuluh tahun lalu.
Advertisement