Perludem: Ambang Batas Parlemen Jadikan Pemilu 2019 Sengit

Titi menjelaskan, ambang batas empat persen membuat satu parpol harus mengumpulkan sebanyak lima juta suara untuk masuk ke palemen.

oleh Yusron Fahmi diperbarui 30 Agu 2018, 07:42 WIB
Perwakilan Perludem, Titi Anggraini (kanan) saat diskusi bersama KawalPilkada dan Bawaslu DKI Jakarta tentang penanganan data penghitungan suara Pilgub DKI Jakarta di kantor LBH, Jumat (3/3). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini meyakini ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen akan membuat Pemilu 2019 sengit. Sebab, dengan jumlah ambang batas tersebut, partai politik baru akan berusaha merebut suara pemilih partai lama.

"Suara masyarakat akan terdistribusi kepada 16 partai yang lolos verifikasi. Jadi, partai di parlemen bisa saja tidak terpilih lagi," ungkapnya, Rabu (29/8/2018).

Titi menjelaskan, ambang batas empat persen membuat satu parpol harus mengumpulkan sebanyak lima juta suara untuk masuk ke palemen. Jumlah itu cukup besar dan akan membuat partai baru bekerja keras memenuhi kuota tersebut.

Adapun partai baru yang lolos di Pemilu 2019, antara lain Partai Berkarya, Partai Garuda, dan Partai Solidaritas Indonesia.

Dia juga memprediksi, ambang batas yang tinggi dan jumlah parpol yang bertambah akan membuat banyak suara masyarakat dalam Pemilu 2019 menjadi terbuang.

"Masyarakat sudah memilih, tapi parpolnya tidak lulus ambang batas parlemen. Maka, suara masyarakat menjadi terbuang dan tidak terhitung," katanya.

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai, ambang batas parlemen dan presiden belum tepat diterapkan untuk Pemilu 2019. 

"Tidak mungkin tidak. Sebab, (aturan tersebut) tidak punya dasar posisional sama sekali," tambah Margarito.  

Menurut Margarito, akan sulit menerapkan aturan ambang batas pada Pemilu 2019. Sebab, pelaksanaan pemilu legislatif dan Pilpres akan dilakukan secara serentak.

Dia juga menambahkan, Pemilu 2019 nanti sebaiknya belum menerapkan ambang batas, baik pada pileg maupun pilpres.

"Parliamentary threshold itu ditiadakan saja lebih baik. Begitu juga presidential threshold," sarannya.

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini


Kebiri Aspirasi Rakyat

Pengamat Hukum Rahmat Bastian menambahkan, secara konstitusi, ambang batas parlemen mengebiri aspirasi rakyat. Sebab, kebijakan itu memperkecil nilai dan kualitas hak memilih satu pemilih.

"Hitungannya, 100 persen suara pemilih menjadi tidak bulat. Dan hanya tersisa sekitar 0,4 persen saja. Akibatnya akan ada sekitar 3,99 persen dikali jumlah Parpol yang kalah dikali suara rakyat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) resmi yang hak pilihnya teranulir," paparnya.

Sebagai orang yang memiliki hak pilih, dia berharap, masyarakat kritis terhadap persoalan ini.

"Bayangkan jika setiap satu rakyat memutuskan untuk memperjuangkan hak memilihnya melalui jalur Yudikatif. Khususnya hak memilih yang telah teranulir sendiri, bagaimana?" ujarnya.

Dia menegaskan, bahwa konstitusi tidak pernah mengajarkan Republik Indonesia untuk menganulir suara minoritas.  

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya