Ada Krisis Venezuela, Tren Koreksi IHSG Berlanjut

IHSG bakal terkoreksi akibat krisis pada negara itu serta pelemahan nilai tukar rupiah.

oleh Bawono Yadika diperbarui 03 Sep 2018, 06:40 WIB
Pengunjung tengah melintasi layar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (13/2). Pembukaan perdagangan bursa hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,57% atau 30,45 poin ke level 5.402,44. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Krisis ekonomi yang menempa negara Venezuela turut berdampak pada laju pergerakan saham di Indonesia, yakni Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sentimen eksternal ini dipandang berperan besar menarik IHSG ke zona negatif untuk perdagangan Senin pekan ini.

Head of Research Reliance Sekuritas Indonesia Lanjar Nafi Taulat mengatakan, IHSG bakal terkoreksi akibat krisis pada negara itu serta pelemahan nilai tukar rupiah yang masih cukup besar pengaruhi gerak indeks. Ia memproyeksikan IHSG akan berada di rentang 5.040-6.034.

"Melemahnya nilai tukar rupiah serta sesi bertambahnya negara emerging market yang terancam bangkrut seperti Argentina dan Turki menjadi kekhawatiran investor asing terhadap negara berkembang untuk masuk," tuturnya Senin, (3/9/2018).

"Sentimen selanjutnya pada awal bulan investor akan terfokus pada data indeks kinerja sektor manufatur, indeks harga produksi dan indeks kinerja sektor jasa," tambah dia.

Dia juga menyebutkan, data tingkat inflasi dan pertumbuhan kinerja sektor manufaktur ikut menjadi sentimen dari dalam negeri.

Pada kesempatan ini, saham-saham yang dapat dicermati menurut Lanjar antara lain adalah PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Charoean Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Surya Semester Internusa Tbk (SSIA), PT Malindo Feedmil Tbk (MAIN), dan juga PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Aksi Beli Investor Asing Angkat IHSG Sepekan

Indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,33% atau 18,94 poin ke level 5.693,39, Jakarta, Selasa (30/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

IHSG mampu lanjutkan penguatan selama sepekan. Hal ini didorong kepercayaan investor di negara berkembang.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (1/9/2018), IHSG menguat 0,8 persen dari posisi 5.968 pada 24 Agustus 2018 menjadi 6.018 pada 31 Agustus 2018.

Penguatan IHSG tersebut didorong saham berkapitalisasi besar yang masuk indeks LQ45 menguat 1,3 persen dan saham kapitalisasi kecil mendaki 0,7 persen.

Penguatan IHSG juga didukung dari aksi beli investor asing capai USD 71,9 juta atau sekitar Rp 1,06 triliun (asumsi kurs Rp 14.752 per dolar Amerika Serikat). 

Sementara itu, indeks BINDO yang menunjukkan kinerja surat utang cenderung mendatar. Imbal hasil surat utang atau obligasi pemerintah bertenor 10 tahun naik dari 7,94 persen menjadi 8,2 persen. Nilai tukar rupiah berada di posisi 14.710 per dolar AS. Hingga Rabu, investor asing beli obligasi sekitar USD 78,9 juta atau sekitar Rp 1,16 triliun.

Ada sejumlah faktor yang pengaruhi pasar keuangan termasuk IHSG dalam sepekan. Dari eksternal, sentimen perang dagang masih jadi sorotan. Pelaku pasar mencermati penerapan pengenaan tarif impor barang China oleh Amerika Serikat (AS) senilai USD 200 miliar yang mungkin dilakukan pada pekan depan.

Hal ini terjadi usai pertemuan dua negara tersebut tidak menemui hasil. China bersiap untuk membalas AS dengan barang yang diimpor dari AS. Selain itu, Presiden AS Donald Trump juga menyatakan tidak ada waktu untuk mulai kembali perundingan dengan China.

Perusahaan AS dan masyarakat memiliki waktu hingga 6 September untuk mengajukan komentar atas proposal tarif yang diajukan.  Trump akan memberlakukan tarif begitu batas waktu berlalu. Trump juga berbicara seolah-olah Uni Eropa menjadi target berikutnya. "Hampir buruk dengan China, hanya lebih kecil," ujar dia.

Donald Trump juga mengancam akan keluar dari Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Ini sangat melemahkan sistem perdagangan global dengan kekuatan Eropa dan AS yang telah membangunnya.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi AS sedikit lebih kuat dari yang diperkirakan pada kuartal II. Bahkan kinerja pertumbuhan ekonomi AS terbaik dalam hampir empat tahun. Ini seiring pengeluaran bisnis dan impor menurun.

Departemen Perdagangan AS menyebutkan produk domestik bruto (PDB) AS tumbuh 4,2 persen pada kuartal II 2018 dari estimasinya 4,1 persen. Bisnis di AS menghabiskan lebih banyak anggaran untuk perangkat lunak dan negara impor lebih sedikit minyak.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya