Ini Kesalahan Mantan Kepala BPPN Menurut Jaksa Kasus BLBI

Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang tuntutan kasus BLBI di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Sep 2018, 14:27 WIB
Mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/8). Sidang mendengar keterangan dua saksi ahli. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang tuntutan kasus BLBI di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Pada tuntutannya, jaksa menilai Syafruddin telah memperkaya orang lain ataupun korporasi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

"Kami menilai pasal yang bersesuaian dengan perbuatan terdakwa adalah Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yakni melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi," ujar jaksa Khairuddin, Jakarta, Senin (3/9/2018).

Penerbitan SKL BLBI oleh Syafruddin dinilai jaksa sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Sebab, pada prosesnya, Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham mayoritas BDNI misrepresentatif.

Dalam uraian fakta hukum, jaksa menyebut Sjamsul Nursalim tidak menyampaikan adanya kredit macet oleh PT Darmadja Citra Dipasena (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) saat melakukan pemaparan skema pembayaran utang BDNI di BPPN. Saat itu, Sjamsul menjaminkan aset BDNI dijaminkan di dua perusahaan tersebut dengan dalih, perusahaan tambak itu memiliki kredit di BDNI.

Saat itu, piutang BDNI kepada PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun. Namun terjadi restrukturisasi sehingga utang perusahaan tersebut kepada BDNI menjadi Rp 3,4 triliun, dari jumlah itu kemudian diklasifikasikan menjadi dapat ditagih dan tidak dapat ditagih.

Sebesar Rp 1,4 triliun merupakan utang dapat ditagih sementara Rp 1,9 triliun merupakan utang tak dapat ditagih. Terhadap hutang tak dapat ditagih, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) era Kwik Kian Gie memutuskan, kewajiban itu ditanggung oleh pemilik saham, Sjamsul Nursalim.

"Kwik Kian Gie menyatakan porsi unsustainable tanggung jawab Sjamsul Nursalim. Petambak udang juga diketahui merupakan milik Sjamsul Nursalim," tutur jaksa Khairuddin.

Kwik kemudian meminta Syafruddin menangani penyelesaian utang Dipasena dengan mengeluarkan keputusan KKSK yang mengamini adanya restrukturisasi.

Syafruddin kemudian berangkat ke Lampung, petani tambak udang PT DCD dan PT WM, guna mempresentasikan tentang kewajiban utang yang harus dibayar ke negara melalui BPPN. Namun, dari presentasi itu ia menyinggung tentang penghapusbukuan

"Presentasi di Lampung sampaikan rencana hapus buku padahal keputusan KKSK tidak ada yang singgung hapus buku Dipasena," tandas jaksa kasus BLBI.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Berawal dari Krisis Moneter

Diketahui saat krisis melanda Indonesia, sejumlah bank mengalami gonjang-ganjing akibat penarikan uang oleh nasabah secara serentak. Agar tidak menimbulkan kerugian berkelanjutan, negara menggelontorkan BLBI kepada sejumlah obligor dengan total keseluruhan Rp 144 triliun, BDNI termasuk di dalamnya.

Seiring berjalannya waktu BDNI dengan kepemilikan saham terbesar adalah Sjamsul Nursalim dianggap misrepresentatif karena membebankan piutang ke petani tambak PT Dipasena, Darmaja dan PT Wachyuni Mandira yang tidak mampu menyelesaikan kewajiban utang.

Sjamsul pun diwajibkan bertanggung jawab membayar Rp 4,58 triliun sebagaimana aset yang dilimpahkan BDNI ke perusahaan tambak tersebut. Namun, belum selesai Sjamsul menyelesaikan kewajibannya, Syafruddin menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap BDNI.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya