Kasus BLBI, Jaksa Tuntut Syafruddin Arsyad Temenggung 15 Tahun Penjara

KPK menuntut mantan Kepala BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung 15 tahun penjara dalam kasus BLBI.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Sep 2018, 15:34 WIB
Terdakwa dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/8). Sidang mendengar keterangan dua saksi ahli. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum pada KPK menuntut mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung 15 tahun penjara denda Rp 1 miliar atau subsider enam bulan kurungan. Ia dianggap memperkaya orang lain atau korporasi atas penerbitan surat keterangan lunas terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai obligor Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI).

"Menuntut oleh karenanya pidana penjara 15 tahun denda Rp 1 miliar atau subsider enam bulan kurungan," ujar jaksa Khairuddin saat membacakan surat tuntutan milik Syafruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (3/9/2018).

Dalam tuntutanya jaksa melampirkan hal yang memberatkan dan meringankan. Sebagai hal memberatkan atas tuntutan, Syafruddin dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Ia juga disebut pelaku aktif dalam penerbitan SKL BLBI tersebut dan menimbulkan kerugian negara. Selain itu, selama persidangan Syafruddin dianggap tidak berterus terang dan tidak menyesali perbuatannya.

Sementara hal meringankan, ia belum pernah dihukum dan berlaku sopan selama persidangan berlangsung.

Syafruddin Arsyad Temenggung dianggap memperkaya orang lain atau korporasi dalam kasus penerbitan SKL BLBI ini.

Atas perbuatannya, ia dituntut telah melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Penerbitan SKL oleh Syafruddin dinilai jaksa sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Sebab, pada proses utang BDNI, pemegang saham mayoritasnya adalah Sjamsul Nursalim, telah terjadi misrepresentatif.

Dalam uraian fakta hukum, jaksa menyebut Sjamsul Nursalim tidak menyampaikan adanya kredit macet oleh PT Darmadja Citra Dipasena (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) saat melakukan pemaparan skema pembayaran utang BDNI di BPPN. Saat itu, Sjamsul menjaminkan aset BDNI dijaminkan di dua perusahaan tersebut dengan dalih, perusahaan tambak itu memiliki kredit di BDNI.

Saat itu, piutang BDNI kepada PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4.8 triliun. Namun terjadi resturukturisasi sehingga utang perusahaan tersebut kepada BDNI menjadi Rp 3.4 triliun, dari jumlah itu kemudian diklasifikasikan menjadi dapat ditagih dan tidak dapat ditagih.

Sebesar Rp 1.4 triliun merupakan utang dapat ditagih sementara Rp 1.9 triliun merupakan utang tak dapat ditagih. Terhadap utang tak dapat ditagih, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) era Kwik Kian Gie memutuskan bahwa kewajiban itu ditanggung oleh pemilik saham, Sjamsul Nursalim.

"Kwik Kian Gie menyatakan porsi unsustainable tanggung jawab Sjamsul Nursalim. Petambak udang juga diketahui merupakan milik Sjamsul Nursalim," kata jaksa.

Kwik kemudian meminta Syafruddin menangani penyelesaian hutang Dipasena dengan mengeluarkan keputusan KKSK yang mengamini adanya restrukturisasi.

Syafruddin kemudian berangkat ke Lampung, petani tambak udang PT DCD dan PT WM, guna mempresentasikan tentang kewajiban utang yang harus dibayar ke negara melalui BPPN. Namun, dari presentasi itu ia menyinggung tentang penghapusbukuan.

"Presentasi di Lampung sampaikan rencana hapus buku padahal keputusan KKSK tidak ada yang singgung hapus buku Dipasena," tandasnya.


Krisis

Mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/8). Sidang mendengar keterangan dua saksi ahli. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Saat krisis melanda Indonesia, sejumlah bank mengalami gonjang-ganjing akibat penarikan uang oleh nasabah secara serentak. Agar tidak menimbulkan kerugian berkelanjutan, negara menggelontorkan BLBI kepada sejumlah obligor dengan total keseluruhan Rp 144 triliun, BDNI termasuk didalamnya.

Seiring berjalannya waktu BDNI dengan kepemilikan saham terbesar adalah Sjamsul Nursalim dianggap misrepresentatif karena membebankan piutang ke petani tambak PT Dipasena, Darmaja dan PT Wachyuni Mandira yang tidak mampu menyelesaikan kewajiban utang.

Sjamsul pun diwajibkan bertanggung jawab membayar Rp 4,58 sebagaimana aset yang dilimpahkan BDNI ke perusahaan tambak tersebut. Namun, belum selesai Sjamsul menyelesaikan kewajibannya, Syafruddin menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap BDNI.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya