Jokowi: Pelemahan Rupiah Akibat Faktor Eksternal yang Datang Bertubi-tubi

Jokowi mengaku tetap mewaspadai dampak dari gejolak perekonomian dunia tersebut. Terlebih dalam hal ini, pemerintah akan terus melakukan koordinasi di berbagai sektor.

oleh Merdeka.com diperbarui 05 Sep 2018, 11:00 WIB
Presiden Joko Widodo. (Biro Pers Setpres)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat suara terkait pelemahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) yang nyaris menyentuh 15.000. Menurut Jokowi, pelemahan nilai tukar Rupiah ini merupakan imbas dari berbagai faktor eksternal.

"Pelemahan kurs tidak hanya di Indonesia. Ini adalah faktor eksternal yang bertubi-tubi, baik yang berkaitan dengan kenaikan suku bunga di AS, baik yang berkaitan dengan perang dagang AS dan China, baik berkaitan krisis yang ada di Turki dan di Argentina," ungkap Jokowi saat ditemui di Indonesia Kendaraan Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Meski demikian, mantan Wali Kota Solo ini mengaku tetap mewaspadai dampak dari gejolak perekonomian dunia tersebut. Terlebih dalam hal ini, pemerintah akan terus melakukan koordinasi di berbagai sektor.

"Saya selalu melakukan koordinasi berkaitan sektor moneter, sektor industri, pelaku usaha. Koordinasi yang kuat ini menjadi kunci sehingga jalannya itu dari semuanya," imbuh Jokowi.

"Kuncinya memang ada dua yang saya sampaikan. Di investasi terus meningkat dan ekspor yang juga harus meningkat sehingga bisa menyelesaikan defisit transaksi berjalan," ucap Jokowi.

Diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) masih betah di level 14.900-an per USD. Angka ini melemah dibanding beberapa hari lalu, di mana rupiah masih bertengger di level Rp 14.700-an per USD.

Mengutip data Bloomberg, pagi ini rupiah dibuka pada posisi 14.925 per USD atau menguat tipis dibanding penutupan perdagangan kemarin di 14.935 per USD.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Tonton Video Ini


Rupiah Masih Lebih Kuat Hadapi Dolar AS Dibandingkan Mata Uang 6 Negara G20 Ini

Ilustrasi pertumbuhan Ekonomi

Rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa pekan terakhir. Meski demikian, ternyata pelemahan nilai tukar rupiah masih tak terlalu besar dibandingkan mata uang beberapa negara lain yang merupakan anggota G-20.

Mengutip data Bloomberg, Rabu (5/9/2018), sejak awal 2018 hingga pertengahan Agustus tahun ini, nilai tukar rupiah tercatat masih lebih mampu menahan penguatan Dolar AS. Ini dibandingkan dengan mata uang enam negara anggota G-20, yakni Turki, Argentina, Rusia, Brasil, Afrika Selatan, dan India.

Rupiah hanya melemah 7,7 persen terhadap dolar AS. Kondisi berbeda terjadi pada Lira Turki yang melemah 80,43 persen dan Peso Argentina melemah 56,90 persen.

Demikian pula bila dibandingkan rubel Rusia yang melemah 17,62 persen serta real Brasil yang melemah 16,66 persen.

Negara anggota G20 lainnya, rand Afrika melemah 16,65 persen dan rupee India yang melemah 9,66 persen.

Ternyata, pelemahan rupiah terkait dengan krisis keuangan yang terjadi di Turki, Argentina dan Brasil. Krisis keuangan yang terjadi di negara tersebut diduga mirip dengan Indonesia pada 1998.

Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menuturkan, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini didorong karena masalah sentimen.

Efek krisis keuangan yang terjadi di Turki dan Argentina itu berdampak terhadap negara berkembang termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia juga mencatatkan defisit perdagangan dan transaksi berjalan.

Tercatat defisit transaksi berjalan sudah mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat sebesar USD 8 miliar.

Angka itu meningkat dibandingkan periode sama pada tahun lalu yang hanya 1,96 persen dan lebih besar dari kuartal I 2018 yang hanya sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.

Budi mengatakan, pemerintah perkuat ekonomi dengan infrastruktur sehingga butuh barang impor dan pembangunan infrastruktur dilakukan di tengah Amerika Serikat (AS) memperketat kebijakan moneternya. Hal tersebut memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Budi menambahkan, kondisi nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS pada 2018, menurut Budi berbeda dengan kondisi 1998.

"Sekarang tidak seperti 1998. Indonesia sudah bertobat. Ada hal yang buat kondisinya berbeda. Pertama, sekarang flexible rate, dulu fixed rate ketika rupiah melemah utang perusahaan jadi lebih besar dari aset. Kemudian sekarang bank sudah ada yang mengawasi," ujar Budi saat dihubungi Liputan6.com.

Budi menuturkan, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ini jadi momen pemerintah untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dan meningkatkan ekspor.

"Pelemahan rupiah obat tata diri kurangi impor, bisa genjot ekspor dan manfaatkan tourism sehingga jaring dolar AS," ujar Budi.

Dalam laporan menyikapi gejolak rupiah, Budi menyebutkan, faktor kenaikan suku bunga, penguatan dolar Amerika Serikat (AS), dan kenaikan harga minyak ini memukul negara berkembang yang banyak berutang valas dan impor bahan bakar minyak.

"Sentimen terhadap negara berkembang saat ini cenderung memburuk seperti ditunjukkan oleh pelebaran angka credit default swap dan JP Morgan emerging market spread. Fenomena yang kemudian terjadi adalah rotasi investasi antar aset dan antar regional menuju negara maju,” tutur dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya