Jaga Rupiah, BI Intervensi Pasar Rp 11,9 Triliun

Komisi XI DPR RI memanggil jajaran Bank Indonesia (BI) perihal kondisi rupiah saat ini.

oleh Merdeka.com diperbarui 05 Sep 2018, 18:45 WIB
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat rapat kerja dengan Banggar DPR, Jakarta, Selasa (4/9). Rapat kerja membahas penyampaian pokok-pokok RUU APBN 2019. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) sudah intervensi di pasar surat berharga negara (SBN) dengan melakukan pembelian kembali mencapai Rp 11,9 triliun. Hal itu disampaikan Bank Indonesia saat rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Komisi XI DPR RI memanggil jajaran Bank Indonesia (BI) perihal kondisi rupiah saat ini. Mata uang Garuda tersebut nilainya terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Dalam pertemuan tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan kondisi nilai tukar rupiah terkini. Perry menjelaskan, rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat disebabkan oleh faktor eksternal.

Faktor yang dimaksud adalah kondisi ekonomi global yang tengah bergejolak. Ekonomi AS menguat dan terus menaikkan suku bunga acuannya sementara negara lain melemah.

Selain itu, perang dagang yang terjadi antara AS dan China juga telah memicu pelemahan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Pola ekonomi dunia memang didasarkan kuatnya ekonomi AS, sementara negara-negara lain mengalami perlambatan, ini kenapa dolar AS kuat dan yang lain lemah," kata Perry di ruang rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Dalang utama pelemahan rupiah adalah keagresifan The Federal Reserve (The Fed) yaitu bank sentral AS yang terus menaikkan suku bunga acuannya.

Pada 2018, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya lebih dari perkiraan pasar yaitu sebanyak empat kali sepanjang 2018. Padahal, prediksi awal The Fed hanya akan menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali. Selain itu, US treasury bond juga meningkat semula kisaran dua persen sekarang sudah menjadi tiga persen.

Hal tersebut otomatis membuat para investor tergoda dan menarik dana mereka di negara-negara berkembang dan memindahkannya ke negeri Paman Sam tersebut. Otomatis persediaan Dolar di negara-negara berkembang menjadi berkurang.

"Ini juga semakin dorong investor global pindahkan portofolionya ke AS. Ini faktor-faktor yang sebabkan dolar kuat secara luas," ujar dia.

Selain faktor eksternal, ada juga faktor internal yang turut melemahkan posisi rupiah terhadap dolar AS. Yaitu membengkaknya defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD).

Sebagai informasi, CAD saat ini sudah mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat sebesar USD 8 miliar. 

Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya sebesar 1,96 persen dan juga lebih besar dibandingkan dengan kuartal I-2018 yang hanya sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.

Sementara itu, sepanjang 2017 Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan sebesar 1,7 persen dari GDP tahun 2017.

Sementara negara berkembang lainnya yang mengalami defisit, antara lain Argentina defisit 4,8 persen, India defisit 1,9 persen, Brazil defisit 0,48 persen, Filipina defisit 0,8 persen, Turki defisit 5,5 persen, dan Afrika Selatan defisit 2,5 persen. 

Jika CAD membengkak, otomatis kebutuhan akan valuta asing (valas) akan meningkat dimana hal tersebut bisa semakin membuat Rupiah terkapar di pasar. "Makanya fokus kita tangani adalah kondisi CAD, ini yang harus menjadi fokusnya,” ujar dia.

Sebagai otoritas moneter RI, BI juga tidak berpangkau tangan saja. Dalam kondisi saat ini BI sudah meningkatkan intensitas intervensi pasarnya. Perry mengungkapkan, terhitung hingga saat ini BI telah mengeluarkan dana sebanyak Rp 11,9 triliun.

"Kalau kita lihat, Kamis, Jumat, Senin, kita juga sudah lakukan , Kamis sudah Rp 3 triliun, Jumat Rp 4,1 triliun , Senin Rp 3 triliun, kemarin  Rp 1,8 triliun," ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

 


Komitmen BI Jaga Stabilai Nilai Tukar Rupiah

Nasabah mengantre menukarkan mata uang USD di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Sebelumnya pada Selasa (4/9), Rupiah sempat mencapai level Rp 14.935 per dollar Amerika atau terlemah sejak 1998. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menegaskan pihaknya tetap berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di pasar.

"Saya menegaskan komitmen BI sangat kuat jaga stabilitas ekonomi termasuk nilai tukar Rupiah," kata Perry di mesjid kompleks BI, Jumat 31 Agustus 2018.

Dia mengungkapkan BI telah meningkatkan intensitas intervensinya di pasar. "Khusunya dalam dua hari ini kita meningkatkan volume intervensi valas bahkan sejak kemarin dari pagi sampai sore kita lakukan intervensi di pasar valas," ujar dia.

Selain itu, dia juga mengungkapkan BI telah memborong Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. "Tadi pagi menjelang jam 11 berapa yang kita beli 3 Triliun itu hampir semua yang dijual asing kita beli," ungkapnya.

BI juga akan melakukan lelang swap dengan target cukup besar dalam rangka langkah - langkah stabilisasi Rupiah.

"Hari ini kita juga terus secara buka lelang fx swap target 400 juta isnyaalah yang masuk lebih besar dari itu. Setiap hari kita juga buka window mengenai swap hedging dan itu terus kita lakukan."

Dia menegaskan BI dan pemerintah akan terus berkoordinasi menjaga stabilitas sistem keuangan dalam negeri.

"Dan koordinasi secara erat dengan kemenkeu dan OJK pastikan stabilitas sistem keuangan, stabulitas nilai tukar tetap terjaga."

Selain itu, dia juga meyakinkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih baik-baik saja. "Yakinkan bahwa kondisi ekonomi kita  kuat dan tahan, dan tentu saja kita akan tetap wasapdai apa yang terjadi di negara lain seperti Turki dan Argentina sejauh ini kami tentu saja ketahan ekonomi kita cukup kuat."

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya