Ini Penyebab Rupiah Tak Bertahan Hadapi Sentimen Global

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution membeberkan kelemahan ekonomi Indonesia saat ini.

oleh Merdeka.com diperbarui 05 Sep 2018, 19:24 WIB
Menko Perekonomian Darmian Nasution saat mengumumkan paket kebijakan ekonomi tahap pertama di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (9/9/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution membeberkan kelemahan ekonomi Indonesia saat ini.

Mantan Gubernur Bank Indonesia, tersebut mengungkapkan ekonomi Indonesia tengah terbelit masalah defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) yang semakin membengkak.

Sebagai informasi, CAD saat ini sudah mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat sebesar USD 8 miliar. 

Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya sebesar 1,96 persen. Kemudian juga lebih besar dibandingkan dengan kuartal I 2018 yang hanya sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.

Sementara itu, sepanjang  2017, Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan sebesar 1,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2017.

Sedangkan negara berkembang lainnya yang mengalami defisit, antara lain Argentina defisit 4,8 persen, India defisit 1,9 persen, Brazil defisit 0,48 persen, Filipina defisit 0,8 persen, Turki defisit 5,5 persen, dan Afrika Selatan defisit 2,5 persen. 

"Kelemahan kita transaksi berjalan, ekspor kita memang tidak tumbuh secepat impor kita, pada waktu ekonomi pelan-pelan pulih, impor kita meningkat lebih cepat dari ekspor, 90 persen bahan baku dan modal, 10 persen barang konsumsi," kata Menko Darmin di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Darmin mengungkapkan, ekonomi RI saat ini juga memiliki kelemahan lain yaitu devisa hasil ekspor (DHE) yang tidak kembali ke Tanah Air. "Kelemahan lain, ekonomi kita, valuta asing (valas) yang masuk dari ekspor tidak semuanya masuk," ujar dia.

Dia mengungkapkan, angka saat ini  menunjukkan sekitar 85 persen DHE dari ekspor masuk. "Yang tidak ditukar ke rupiah malah banyak sekali, dari 85 persen yang masuk hanya 6 bulan yang sama ditukarkan ke rupiah paling-paling sekitar 15 persen," ujar dia.

Kondisi tersebut, membuat ketahanan nilai tukar rupiah menurun sebab persediaan dolar AS berkurang. "Sehingga dalam gejolak sekarang kita menghadapi permintaan terhadap dolar naik kemudian ketersediaan dolar tidak bisa mengejar dengan baik," ujar dia.

Selain kelemahan, ekonomi RI juga memiliki kabar baik yaitu membaiknya iklim investasi. Namun, kondisi tersebut belum ditopang dengan membaiknya ekspor. Ekspor Indonesia saat ini masih lambat dan jauh di bawah impor.

"Investasi sudah cukup baik tapi dalam pertumbuhan ekspor kita cukup lambat. Maka tekanan kepada kita itu relatif tinggi,” tutur dia.

Kondisi ini yang membuat Indonesia tidak setangguh negara tetangga di saat kondisi ekonomi bergejolak seperti sekarang.

"Seandainya ekspor kita cukup baik pertumbuhannya dan transaksi berjalan kita tak memburuk itu pasti tekanan kepada kita sama saja dengan tekanan kepada negara-negara sekitar kita. Kita lebih lambat pertumbuhan ekspornya maka tekanan ke kita lebih berat dibanding Thailand dan Malaysia. Tapi kita sama dengan India dan Filipina,” kata dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

 


Rupiah Melemah, OJK Perketat Pengawasan Penggunaan Valas

Nasabah mengantre menukarkan mata uang USD di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Sebelumnya pada Selasa (4/9), Rupiah sempat mencapai level Rp 14.935 per dollar Amerika atau terlemah sejak 1998. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai mengambil aksi seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Saat ini, nilai tukar rupiah sudah berada di level 14.900 per dolar AS.

Sebagai bentuk kewaspadaan dan antisipasi resiko yang timbul, OJK mulai mengintensifkan pengawasan penggunaan valas di seluruh industri jasa keuangan.

“OJK mengintensifkan pengawasan di sektor jasa keuangan sebagai bagian monitoring secara reguler baik secara on site maupun off site supervisory terhadap seluruh kegiatan industri jasa keuangan, termasuk terkait transaksi valas. Terutama pengawasan yang ketat dan intensif untuk memastikan transaksi valas dilakukan berdasarkan kebutuhan sesuai dengan underlying-nya," kata Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot, Rabu 5 September 2018.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku akan bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS.

Menurutnya, kondisi rupiah saat ini tidak perlu ditanggapi berlebihan, bahkan hingga ada yang mengasumsikan mendekati krisis.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memgatakan saat ini rupiah belum mengganggu stabilitas industri keuangan Indonesia.

"Jadi tidak perlu khawatir (soal pelemahan rupiah). Fundamental kita kuat kondisi sejak minggu lalu karena sentimen negatif yang sifatnya sementara akibat kondisi ekstenal," kata Wimboh kepada Liputan6.com.

Wimboh percaya, BI akan melakukan operasi pasar selama keperluan dolar adalah untuk pembayaran impor, pembayaran bunga ke luar negeri dan/atau pembayaran hutang, maupun keperluan lain yang ada underlying.

"Cadangan devisa kita cukup untuk memenuhi kebutuhan impor maupun keperluan lain yang sudah ada underlying. Inflow portofolio asing masih terus terjadi. Selain itu, pemerintah sudah mempunyai komitmen untuk mengatur kembali kebutuhan dolar dalam rangka proyek pemerintah tanpa menimbulkan hambatan terhadap program-program yang sudah berjalan," papar Wimboh. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya