Liputan6.com, Cirebon - Tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berimbas kepada para produsen tempe. Harga kedelai yang dikhawatirkan naik menjadi ketakutan produsen tempe untuk tetap mempertahankan usahanya.
Namun, ketakutan itu tidak begitu terlihat pada produsen tempe yang ada di Cirebon. Seperti yang dialami Darnubi, produsen tempe di Kelurahan Sukapura, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, dia mengaku sudah terbiasa menghadapi kenaikan harga kedelai.
Baca Juga
Advertisement
"Menurut saya, harga kedelai naik ya sudah risiko karena bahan baku utama tempe memang harus impor," ujar dia, Kamis (6/9/2018).
Darnubi mengaku tidak lagi terkejut dengan naiknya harga kedelai yang terkait dengan nilai tukar rupiah. Dia beranggapan, kenaikan harga kedelai membuatnya berpikir kreatif untuk tetap mendapat untung di tengah tingginya harga bahan baku.
Darnudi mengatakan, kenaikan harga kedelai tidak menjadi alasan untuk menaikkan harga jual tempe. Namun, dia mengaku, umumnya produsen tempe di Cirebon mengurangi potongan tempe saja.
"Dari panjang tempe yang sudah matang 2 meter ya kita tinggal kurangi saja 1 cm atau ketebalan tempe dikurangi juga sesuai perkiraan," ujar Darnubi.
Dia mengaku, dalam mengelola usaha yang membutuhkan bahan baku impor tersebut, produsen dituntut cerdas. Kesadaran produsen akan risiko kenaikan harga kedelai harus diantisipasi sejak dini.
Dia mengaku, hingga saat ini masih menggunakan stok kedelai dalam memproduksi tempenya. Otomatis, harga, kualitas, dan ketebalan tempe masih belum berubah.
"Kalau saya memperbanyak stok ketika harga kedelai sedang terjangkau karena khawatir kondisinya seperti ini. Kalau harga tempe yang dinaikkan saya tidak mau," kata Darnubi.
Pengalaman Buruk Jadi Pelajaran Berharga
Sikap tenang Darnubi menghadapi gejolak kenaikan harga kedelai dalam produksi tempenya itu bukan tanpa sebab. Dia mengaku sudah berulang kali mengalami kerugian akibat naiknya harga kedelai.
Bahkan, dia mengaku nyaris tidak bisa produksi akibat harga kedelai yang naik drastis. Pengalaman tersebut menjadi pelajaran berharga untuk tetap mempertahankan usaha yang dirintisnya sejak tahun 1990 itu.
"Saya itu mengalami sekali dari harga kedelai Rp 100 per kilogram sampai sekarang Rp 7.700. Satu dua kali rugi ya sering tapi saya berpikir bagaimana tetap dapat untung toh konsumen juga memaklumi," ujar dia.
Kendati demikian, dia berharap pemerintah mampu mengatasi gejolak nilai tukar rupiah yang tertekan oleh dolar Amerika. Dia juga berharap pemerintah memberikan kemudahan bagi produsen tempe agar tetap produksi di tengah gejolak ekonomi nasional.
"Yang penting kita jangan sampai diminta yang macam-macam apalagi soal tempe yang sudah jadi kebutuhan sehari-hari masyarakat," ujar dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement