Liputan6.com, Jakarta Salah satu permasalahan mengapa orang modern enggan mengonsumsi serangga adalah karena bentuknya. Beberapa orang merasa bahwa mereka menjijikkan sehingga tidak pantas untuk dimakan.
Menurut Prof. Dr. Ir. FG Winarno, sesungguhnya serangga bisa dikonsumsi dengan bentuk yang lebih etis untuk dikonsumsi. Pria yang mendapatkan gelar dari MURI sebagai Bapak Teknologi Pangan Indonesia itu mengatakan, ada pengaruh budaya ketika seseorang mengonsumsi serangga.
Advertisement
"Sebetulnya kalau Anda tidak makan serangga sekarang kan karena jijik saja," ujar Winarno dalam acara bedah buku karyanya Serangga Layak Santap di Jakarta, Kamis (6/9/2018).
Winarno mencontohkan di Thailand, serangga memiliki harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan daging. Selain itu, beberapa negara Asia lain yang juga sudah menganggap mengkonsumsi serangga adalah hal yang biasa adalah Laos dan Kamboja.
Selain itu, beberapa daerah di Indonesia sendiri juga sudah memiliki kuliner serangganya sendiri. Seperti di Papua yang beberapa masyarakatnya masih mengonsumsi ulat sagu.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Dulu Dianggap Musuh
Daerah seperti Ciamis yang memiliki kuliner yang berbahan dasar jangkrik. Serta, daerah Gunungkidul,Yogyakarta juga terkenal dengan belalang gorengnya, dan Sumba yang juga memiliki budaya menangkap dan memakan serangga.
Selain itu, serangga juga menurut Winarno memiliki protein yang tinggi apabila dibandingkan dengan hewan ternak konvensional.
"Serangga ini luar biasa karena proteinnya lebih tinggi daripada peternakan biasa seperti sapi, kambing, domba, babi dan sebagainya," imbuhnya.
Sayangnya, dahulu serangga dianggap sebagai hama yang mengganggu pertanian.
"Masalahnya dulu oleh IPB serangga dicap sebagai musuh. Itu zaman dulu, zaman now tidak begitu," ujar Winarno.
Mantan rektor Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta itu menyebutkan, dibutuhkan peran dari banyak orang untuk mengajak masyarakat mulai mengonsumsi serangga. Salah satu sarannya dengan mengajak selebriti.
"Ya tidak usah makan coro (kecoa) utuh, nggilani," kata Winarno.
Advertisement