Liputan6.com, Yogyakarta - Tidak banyak orang yang tahu kalau perusahaan pabrik cerutu tertua di Indonesia justru berada di Yogyakarta. Bangunan 8.920 meter persegi di atas lahan seluas 2,2 hektare yang berada di Jalan Kompol Bambang Suprapto, Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta, itu lebih mirip rumah tua.
Tidak banyak juga orang yang tahu bangunan itu dipergunakan untuk apa. Memang ada tulisan PT Taru Martani yang jadi identitas bangunan itu. Namun, masih ada juga orang awam yang berpikir bangunan itu adalah perusahaan rokok lintingan rumah tangga. Bahkan, sebagian orang juga mengira perusahaan itu sudah tutup.
Bangunan itu berdiri sejak 1918. Artinya, usianya sudah satu abad. Sejak awal dibangun sampai sekarang, aktivitasnya sama. Bangunan itu melahirkan cerutu dan tembakau iris saus atau tembakau shag untuk diekspor ke berbagai negara.
Baca Juga
Advertisement
Perbedaannya, terletak pada nama perusahaan yang sudah berganti beberapa kali. Berdiri pada masa kolonial, pabrik itu milik seorang Belanda bernama Mignot. Semula, cerutu dan tembakau shag yang diproduksi hanya untuk pasar Hungaria.
Ketika masa pendudukan Jepang, perusahaan itu pun diambil alih dan diberi nama Tobaco Kojo. Pascakemerdekaan, pemerintah RI pun mengakuisisi dan menyerahkan perusahaan itu menjadi Perusahaan Daerah (PD) Taru Martani Yogyakarta pada 1966. Nama baru muncul pada 1972 sampai 1986 menjadi Taru Martani Baru.
Setelah itu, perusahaan cerutu itu kembali berganti nama menjadi PD Taru Martani pada 1986 sampai 2012. Setelah itu, status PD pun berubah menjadi PT sampai saat ini.
"Statusnya PT, tetapi mayoritas saham dipegang pemerintah daerah. Alasan ganti PT supaya Taru Martani punya keleluasaan untuk berkembang di dunia internasional mengingat secara administratif, PD tidak dikenal," ujar Nur Akhmad Affandi, Direktur Utama PT Taru Martani, Selasa, 4 September 2018.
Konsekuensi dari PT membuat Taru Martani berkembang menjadi badan usaha serba usaha. Selain cerutu yang diekspor ke Amerika, Jepang, Malaysia Siprus, Jerman, Belanda, perusahaan ini juga memproduksi briket arang bahan baku dari serbuk kayu yang diekspor ke Korea.
Simak video pilihan berikut ini:
Pesan dari Sultan HB IX
Berbicara Taru Martani tidak bisa dilepaskan dari Sultan HB IX, yang ketika itu menjadi Raja Keraton Yogyakarta sekaligus gubernur. Ia mencetuskan nama Taru Martani yang sarat filosofi dan harapan.
Taru Martani berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa. Taru berarti 'daun' dan martani yang bermakna 'kehidupan'. Nama ini bisa diterjemahkan sebagai daun tembakau yang memberi kesejahteraan kepada masyarakat.
"Pabrik ini harus dipertahankan dalam kondisi sesulit apa pun, tidak boleh ditutup sebagai implementasinya sebagai amanah dari Sultan HB IX," ucap Nur.
PT Taru Martani mempekerjakan 200-an orang pekerja yang bertugas di ruang produksi. Mereka rata-rata sudah bekerja lebih dari 20 tahun.
Regenerasi pekerja biasanya dari keluarga ke keluarga. Bahkan, sudah ada tiga generasi keluarga yang bekerja di perusahaan ini.
Sebagai pabrik cerutu korporasi pertama di Indonesia, agen-agen Taru Martani di luar negeri juga sangat loyal. Menurut Nur, mereka menganggap pengalaman panjang usia mencapai 100 tahun sebagai sebuah konsistensi, serta kekhasan rasa Java Cigar (rokok Jawa) yang eksotik.
Produk cerutu Taru Martani dikemas dalam berbagai ukuran dan merek untuk dipasarkan di luar negeri. Ada pula yang custom, artinya pembeli memesan cerutu tetapi tanpa merek.
"Biasanya mereka yang melabeli merek sendiri," tuturnya.
Taru Martani bisa menghasilkan ratusan ton tembakau shag dan kapasitas produksi cerutu 315.000 batang per bulan.
Advertisement
Kendala Stigma
Sekalipun digemari di dunia internasional, Nur tidak menampik pemasaran cerutu di Indonesia justru kerap terkendali stigma. Kampanye antirokok kerap dikaitkan dengan keberadaan cerutu.
"Masyarakat tidak bisa membedakan cerutu dengan rokok. Di dunia internasional orang meyakini cerutu adalah bagian dari lifestyle, cigar is not cigarette," ujarnya.
Persoalan lain adalah anggapan cerutu impor yang mahal lebih bagus, padahal harga mahal cerutu impor karena peraturan dari pemerintah untuk melindungi pabrik dalam negeri.
Cerutu impor bisa mencapai harga Rp 170.000 per batang, sedangkan cerutu Taru Martani dijual mulai Rp 2.000 sampai Rp 50.000 per batang, tergantung jenisnya.
Ia juga tidak sepakat apabila cerutu satu negara atau daerah dibandingkan dengan cerutu di tempat lain. Sebab, rasanya pasti berbeda-beda tergantung selera dan racikan daun tembakau yang menjadi kekhasan di suatu wilayah.