Liputan6.com, Jakarta - Nilai rupiah terhadap dolar sedang melemah. Kondisi ini tidak terlepas dari ketidakpastian kondisi ekonomi global. Meskipun kondisi Indonesia tidak separah Turki, India, atau Argentina, namun ada pihak-pihak yang menyebar retorika bahwa rupiah separah krisis moneter (krismon) 1998.
Anggapan itu dimentahkan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro. Ia menyebut, pihak yang membandingkan kondisi sekarang dan 1998 tidak memahami awal mula kejadian.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi, kalau membandingkan itu harus apel dengan apel. Jadi kalau kita membandingkan kita harus lihat mulainya itu dari mana. Kalau dari 98, itu kita mulai dari Rp 2.500, Rp 3.000, kemudian terjadi tekanan sehingga sampai ke Rp 10 ribu," jelasnya pada Liputan6.com pada Kamis (6/9/2018) di Jakarta.
Ia menjelaskan, persentase kenaikan rupiah pada 1998 yang terbilang tinggi tidak sama dari kenaikan sekarang. "Kalau dilihat dari April, itu (rupiah) sekitar Rp 13.500, sekarang Rp 14.938. Itu kalau kita lihat sekadar 11 persen (kenaikannya)," ucap dia.
Ari tidak segan menyebut berita-berita negatif terkait rupiah sebagai hoaks. Ditambah lagi, penyebaran berita seperti itu hanya menambah ketidakpastian yang merugikan semua orang.
"Jadi hoaks-hoaks seperti itu tidak produktif, karena ini dampaknya global, jadi tidak perlu nakut-nakutin, sebab situasi ini temporer," tegas dia.
Permasalahan lain dari penyebaran hoaks, seperti tentang potensi krisis, adalah bisa membuat paranoid orang-orang awam. Pasalnya, mereka akan terpengaruh untuk menyimpan dolar tanpa tujuan produktif. Permintaan dolar pun meningkat tanpa guna yang jelas.
"Adanya hoaks itu, bagi orang yang sebenarnya awam, itu akan menimbulkan kebutuhan yang tidak perlu pada dolar. Dia akan menyimpan (dolar), bukan untuk kegiatan produktif, tapi berjaga-jaga, dan itu menyimpannya di bawah bantal," jelasnya.
Akademis yang juga seorang Komisaris Utama BNI itu turut menekankan pentingnya pesan-pesan positif terkait kondisi Indonesia. Sebab, pada dasarnya kondisi Indonesia masih lebih baik ketimbang emerging market lain, sehingga investor tidak perlu waswas akan kabar sentimen negatif.
Ia menjelaskan, belakangan ini, ada kekhawatiran kondisi Indonesia mirip dengan Turki dan Argentina, padahal kondisi Indonesia jauh lebih baik.
"Yang paling rentan itu Turki, Argentina, Brazil, Afrika Selatan, jadi masih ada yang lebih jelek lagi dari kita. Dan itu sudah jadi alasan kita tak usah terlalu pesimis. Kita masih punya kemampuan untuk tetap maju, situasinya stabil, dan tidak perlu terpengaruh dengan adanya desas-desus segala macam yang makin menambah parah ketidakpastian," tegasnya.
Ketidakpastian Mengganggu Investor
Faktor ketidakpastian adalah penghalang bagi para investor untuk menanam modalnya. Itulah mengapa penyebaran hoaks atau kabar-kabar negatif tentang rupiah malah memperburuk situasi, padahal kondisi rupiah tidak seburuk emerging market lain.
"Jadi tingkah laku investor yang narik (dana) itu bagian ketidakpastian mereka. Dalam keadaan biasa, mereka akan melihat Indonesia pertumbuhannya lumayan, inflasinya rendah, dan di negara lain kondisinya tak sebaik Indonesia," ucap Ari.
Menurut dia, pada kondisi saat ini harusnya para investor menanamkan investasi di Indonesia, sebab kondisi Indonesia relatif baik. Namun, adanya ketakutan terjadinya kondisi seperti di Turki dan Argentina malah membuat investor makin waswas.
Mereka pun langsung melakukan generalisasi kondisi negara satu dengan lainnya, bahwa Indonesia akan seperti Turki. Hal ini pun diperparah bila ada berita-berita miring tentang situasi rupiah.
"Logikanya invest di kita, cuman karena mereka memukul rata, jadi mereka tarik uangnya. Jadi tugas kita sebetulnya menjelaskan pada mereka bahwa kita beda. Ini adalah peran dari pesan-pesan yang positif bahwa kita beda," jelasnya.
Advertisement