Liputan6.com, Jakarta Timnas Basket Indonesia hanya mampu berada di posisi ke-8 pada Asian Games 2018 yang baru saja berakhir 2 September lalu. Indonesia kalah 66-84 dari Jepang pada perebutan posisi 7-8 pada Jumat, 31 Agustus lalu.
Pelatih Timnas Basket putra Indonesia, Fictor "Ito" Roring mengakui keunggulan Jepang. Dia pun sudah memiliki bayangan harus seperti apa Timnas Basket Putra Indonesia pada empat tahun mendatang saat mengikuti Asian Games 2022.
Baca Juga
Advertisement
Ito berpendapat, Indonesia harus mencari pemain naturalisasi yang tinggi, besar dan jago. Pemain naturalisasi seperti ini harus didapatkan sebelum Asian Games 2022.
Pemain naturalisasi yang tinggi, gede dan jago, seolah menjadi "mantra" yang begitu diyakini Ito amat ampuh untuk membuat basket putra Indonesia bisa bersaing di tingkat Asia.
Ito bahkan meyakini bahwa jika pemain naturalisasi semacam itu tak kunjung datang sebelum keikutsertaan pada Asian Games 2022 di Hangzhou, China, serta Piala Dunia FIBA 2023 di Filipina-Indonesia-Jepang, bisa jadi Indonesia hanya akan menjadi tim pelengkap turnamen semata dalam dua ajang tersebut.
"Ini olahraganya the giant (raksasa). Itu harus diakui. Kalian lihat kemarin Korea itu kurang jago apa, tapi lawan Iran kalau orang bilang mereka mati manis. Gak bisa jalan semua karena tinggi-tinggi yang jaga, di-cover semua," ujar Ito seperti dikutip antara.
Ito merujuk pada laga semifinal bola basket putra Asian Games 2018 antara Korea Selatan menghadapi Iran, yang berakhir dengan kemenangan Iran, kendati pada awalnya Korsel lebih diunggulkan lantaran penampilan krusial nan dominan dari pemain naturalisasi asal Amerika Serikat, Ricardo Ratliffe.
Ratliffe, yang memiliki tinggi badan 2,03 meter mendapat pengawalan ketat dari pilar Iran jebolan NBA, Hamed Ehdadi, yang berpostur setinggi 2,18 meter. Akhirnya, meskipun Ratliffe tetap membukukan double-double 37 poin dan 12 rebound, namun ia tak sekalipun memperoleh offensive rebound.
Ini membuat penembak tiga poin Korea Selatan ragu-ragu untuk melakukan percobaan.Apalagi mereka dijaga ketat pemain Iran.
Secara rata-rata postur tubuh, memang roster Iran berada pada urutan kedua dengan rataan 1,98 meter hanya kalah dari Tiongkok, yang akhirnya memenangi partai final kontra Iran.
Ito juga menyebutkan bahwa hal serupa dialami Chinese Taipei, tim yang begitu percaya diri atas permainan basket mereka namun tetap terbentur tembok tinggi pemain Tiongkok pada cabor Basket Asian Games 2018.
"Jadi bukan cuma kita, Korea, Chinese Taipei juga merasakan seperti itu," kata Ito.
"So, sangat krusial ke depannya kita bisa mendapatkan pemain yang tinggi. Itu evalusasi saya dari pelatih timnas kalau kita mau bersaing. Belum bicara menang ya, bersaing dulu, itu harus dapat," ujarnya menambahkan.
Manfaatkan Kesempatan
Indonesia memang menjadi tim dengan rata-rata tinggi badan roster terpendek di antara tim-tim yang melaju ke delapan besar basket putra Asian Games 2018, dengan rataan 1,89 meter dan hanya satu pemain melampaui 2 meter yakni Muhammad Dhiya Ul`haq dengan 2,03 meter namun itu pun tak banyak memberikan kontribusi berarti bagi tim dalam ajang tersebut.
Basket putra Indonesia akhirnya hanya menempati peringkat kedelapan turnamen, usai kalah dari Jepang yang hanya menyisakan delapan pemain tersisa di dalam roster-nya menyusul skandal indisipliner yang membuat empat pemain dipulangkan.
Capaian itu bahkan dikalahkan oleh tim putri yang berhasil mengalahkan Mongolia demi merebut tempat ketujuh.
Kendati demikian, Indonesia kini memiliki dua tiket untuk kembali berlaga di cabang olahraga bola basket Asian Games 2022 di Hangzhou, Tiongkok. Kini, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mempersiapkan cara terbaik memanfaatkan tiket itu nantinya.
Sementara perkara naturalisasi pemain, kata Ito, seluruhnya bergantung pada negosiasi dan langkah pihak Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi), di luar itu ada yang penting untuk dilakukan yakni menambah jam terbang para pemain.
Bagi Ito, komposisi roster basket putra Indonesia yang tampil di Asian Games 2018 sudah mendapatkan hasil maksimal yang bisa didapatkan.
Pasalnya, ia meyakini bahwa para pemain lokal juga sudah memiliki kemampuan yang cukup oke namun lagi-lagi semuanya terbentur pada persoalan postur tinggi badan ketika menghadapi tim yang dihuni "raksasa".
"Kalau ngomong skill sebenarnya kita cukup oke, kita ngomong ada Ius (Xaverius Prawiro), Pras (Andakara Prastawa Dhyaksa), Arki (Arki Dikania Wisnu), Kaleb (Kaleb Ramot Gemilang), Koming (Ponsianus Nyoman Indrawan)," kata Ito.
"Tapi ya itu, terlalu kecil untuk di level Asia," ujarnya menambahkan.
Advertisement
Jam Terbang
Oleh karena itu, Ito mengakui jam terbang menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan lagi untuk tetap menjaga bahkan menghasilkan sosok di luar nama yang sudah ada demi memperkuat timnas basket putra.
Soal liga misalnya, Ito mengakui bahwa Liga Bola Basket Indonesia (IBL) saat ini perlu ditambah jumlah pertandingannya dalam semusim dari angka 17 kali.
"Lebih bagus lagi ditambah dari 17 match semusim. Saya setuju itu. Sebenarnya dari jangka waktu kita main enam bulan kadang-kadang lebih, tapi sedikit gimnya, kurang padat, mungkin bisa dipadatin sekarang terlalu banyak libur," ujarnya.
Di luar kompetisi lokal yang harus dipadatkan, Ito tengah merintis upaya untuk menambah jam terbang bagi timnas basket putra, salah satunya dengan menemui Presiden Asosiasi Bola Basket China (CBA) Yao Ming di Jakarta di sela-sela Asian Games 2018.
Sehari setelah pertemuan yang digelar Jumat (31/8), Ito mengungkapkan bahwa Yao Ming menyambut baik ide-ide yang diajukan pihak Indonesia meski belum ada keputusan positif.
Beberapa opsi yang diajukan adalah dengan mengikutsertakan timnas Indonesia dalam turnamen pramusim CBA Summer League atau menggelar pemusatan latihan berjangka di China.
"Ya belum ada keputusan, tapi kita coba lah," kata Ito.
Saksikan juga video menarik di bawah ini: