Pengadilan Pidana Internasional Ancam Hukum Myanmar Atas Konflik Rohingya

Myanmar terancam hukuman oleh Pengadilan Pidana Internasional (ICC) atas konflik yang terjadi di Rohingya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 07 Sep 2018, 11:33 WIB
Sejumlah orang Rohingya menggelar demonstrasi di kamp pengungsi di Bangladesh selepas salat Idul Fitri (16/6) (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Den Haag - Pengadilan pidana internasional (ICC) telah memutuskan dapat mengadili Myanmar karena dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang terjadi pada orang-orang Rohingya.

Keputusan tersebut dikabarkan tidak pernah terjadi sebelumnya, di mana dapat menyeret para politisi dan pemimpin militer di suatu negara, ke meja hijau internasional.

Sebuah ruang pra-persidangan di ICC di Den Haag, Belanda, mengatakan pada Kamis 6 September, bahwa meskipun Myanmar tidak meratifikasi kesepakatan pengadilan internasional, namun para pemimpinnya masih bisa diselidiki atas kejahatan migran, atau dalam kasus ini adalah pemindahan paksa penduduk.

Dikutip dari The Guardian pada Jumat (7/9/2018), jaksa ICC telah mengajukan argumen baru bahwa, tindakan yang diduga memaksa etnis Rohingya mengungsi, benar terjadi di Myanmar.

Kejahatan itu tidak akan selesai sampai para pengungsi memasuki Bangladesh, yang merupakan bagian dari undang-undang Roma yang mengatur pengadilan, tulis ICC dalam sebuah pernyataan.

Keputusan di atas membuka pintu bagi jaksa ICC untuk mengajukan penyelidikan penuh ke Myanmar, terkait kasus pemindahan paksa dan kejahatan lain terhadap kemanusiaan, termasuk genosida.

Jaksa saat ini sedang melakukan pemeriksaan awal dalam upaya mengumpulkan cukup bukti, untuk meyakinkan pengadilan ICC membuka penyelidikan formal.

"Pemeriksaan awal diukur dalam beberapa tahun, dan begitu juga penyelidikan penuh,” kata Wayne Jordash, seorang pengacara hak asasi manusia internasional.

Bulan lalu, PBB mengeluarkan laporan yang memberatkan militer Myanmar, karena dituduh telah melakukan genosida dan kejahatan lain terhadap Rohingya, serta beberapa etnis minoritas di negara itu.

Lebih dari 700.000 oang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, sejak Agustus 2017, setelah tentara Myanmar meluncurkan "operasi pembersihan" terhadap apa yang mereka sebut teroris, di negara bagian Rakhine utara.

Para pengungsi mengatakan bahwa mereka secara ditembak secara membabi buta, dibakar, serta diperkosa oleh tentara Myanmar dan milisi Buddha.

Lebih dari satu juta pengungsi Rohingya kini tinggal di kamp-kamp di Bangladesh selatan, yang sangat padat penduduk.

 

Simak video pilihan berikut: 

 


Belum Ada Tanggapan Myanmar

Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato nasional terkait Rohingya di Naypyidaw (19/9). Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar tidak lari dari tanggung jawab. (AFP Photo/Ye Aung Thu)

Laporan PBB mengatakan telah menemukan bukti konklusif tentang tindakan pasukan bersenjata Mynamr, yang dikenal sebagai Tatmadaw.

Dilaporkan bahwa militer setempat "tidak diragukan lagi merupakan kejahatan paling berat di bawah hukum internasional" di Rakhine serta di Kachin dan Shan, negara-negara bagian lain yang juga terbelah oleh konflik internal.

Pemerintah Myanmar belum bereaksi terhadap keputusan tersebut, tetapi berargumen bulan lalu, bahwa permintaan jaksa ICC "tidak berdaya dan harus dihentikan".

Jika ada pemimpin Mynamar yang akhirnya dituduh, ICC juga akan terbatas dalam kapasitasnya untuk menegakkan keputusan dan membawa mereka ke pengadilan di Den Haag.

"ICC tidak memiliki kekuatan kepolisiannya sendiri, kemampuannya untuk menegakkan keputusannya sendiri dibatasi oleh fungsi dari dewan keamanan PBB," kata Jordash.

Usulan pengawasan atas tindakan Myanmar di negara bagian Rakhine oleh dewan keamanan, sejauh ini ditolak oleh Rusia dan China, dua negara yang memiliki hak veto.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya