IHSG Kembali Hijau, BEI Tegaskan Ekonomi RI Masih Kuat

Kondisi fundamental Indonesia lebih bagus ketimbang yang terjadi di emerging market lain.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 07 Sep 2018, 16:00 WIB
Pekerja melintasi layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). Meski terjebak di zona merah, IHSG berhasil mengakhiri perdagangan di level 5.841. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Keadaan emerging market atau negara berkembang antara lain Turki, Argentina, dan Brazil sedang disorot karena ekonominya tengah terguncang. Walau ada dugaan kondisi yang sama akan terjadi di Indonesia, tetapi hal itu ditampik oleh Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota BEI Laksono Widodo.

Laksono menyebut, kondisi di Indonesia relatif baik. Fundamental ekonomi Indonesia pun masih bagus. "Kenyataannya market juga hari ini not bad, kembali hijau lagi, memang masih volatile," ujar dia di Gedung Bursa Efek Indonesia, pada Jumat (7/9/2018).

Dia melanjutkan, pihaknya akan tetap bersikap hati-hati dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan.

"Kita juga akan sangat berhati-hati dalam mendeploy suatu policy, jangan sampai policy yang dikeluarkan itu malah menambah panik pasar, dikira ada apa-apa, nyatanya enggak ada apa-apa. Kita sangat berhati-hati. Kita punya perangkat-perangkat itu, cuma kita enggak semena-mena," ucap dia.

Selain itu, pemerintah tengah mengeluarkan beragam kebijakan untuk melindungi perekonomian, salah satunya dengan kenaikkan tarif barang impor pada Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22. Namun, ditegaskan yang naik hanya barang konsumsi, bukan barang baku.

"Pemerintah juga lihat kalau yang meningkat impornya bukan hanya bahan baku, tapi barang konsumsi. Karena itu, pemerintah naikkan tarif PPh pasal 22 untuk barang yang diimpor untuk barang konsumsi. Kita pastikan kalau bahan baku tidak ada kenaikan, hanya barang konsumsi," tutur Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Suahasil Nazara.

Suahasil pun menegaskan, kebijakan pemerintah tak hanya mentok di tarif Pph, melainkan ada policy-mix yang dilakukan. Salah satunya adalah kebijakan B20. " 20 persen dari solar kita dicampur dari CPO (crude palm oil). Artinya, kita tak perlu mengimpor 20 persen yang solar mentah. Dari CPO yang diproduksi sendiri, mengurangi impor," ujar dia.

Proyek-proyek infrastruktur diimbau mengutamakan pemakaian kandungan dalam negeri. "Pemerintah memastikan proyek-proyek infrastruktur tingkat kandungan lokalnya dimaksimalkan. Kalau bisa tidak impor, jangan impor bahan membangun infrastruktur itu. Caranya memaksimalkan tingkat kandungan lokal, itu juga akan mengurangi impor," pungkasnya.


Rupiah Menguat, Sri Mulyani Pastikan Pemerintah Tetap Waspada

Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama sejumlah menteri memberi keterangan pers RAPBN 2019 di Media Center Asian Games, JCC Jakarta, Kamis (16/8). Pada konpers tersebut nilai Rupiah dipatok Rp 14.400/US$ dalam RAPBN 2019. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Sebelumnya, ilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) bergerak menguat di perdagangan Kamis, 6 September 2018. Rupiah bahkan sudah tak lagi bertengger di level 14.900-an per USD.

Mengutip data Bloomberg, pagi ini rupiah dibuka di level 14.875 per USD atau menguat dibanding penutupan perdagangan kemarin yang sempat menyentuh 14.938 per USD. Usai pembukaan, rupiah melemah tipis ke level 14.890 per USD.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, meski ada penguatan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), pemerintah tetap akan terus mewaspadai. Sebab, ketidak pastian gejolak perekonomian dunia masih akan terjadi.

"Ini sesuatu yang akan terus kita hadapi ketidak pastian ini tapi kita akan tetap menjaga," kata Sri Mulyani saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCV) Senayan, Jakarta, Kamis 6 September 2018.

Sebelumnya, President ASEAN International Advocacy, Shanti Ramchand Shamdasani mengatakan, meski Rupiah sama-sama terdepresiasi, namun saat ini kondisi keuangan nasional masih bagus. Buktinya, perbankan di dalam negeri tidak terdampak pelemahan Rupiah seperti yang terjadi di 1998.

"Ini sama (terdepresiasi) tapi makna beda. 1998 dulu banking system-nya juga jatuh, banyak bank tutup, banyak yang merger dan lain-lain," ujar dia di Jakarta, Kamis 6 September 2018.

Dia menuturkan, depresiasi rupiah yang terjadi saat ini disebabkan oleh dua hal, ketidaksiapan pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi digital. Kedua, perang dagang yang dipicu oleh kebijakan Amerika Serikat.

"Sekarang berbeda karena trigger-nya dua. Pertama banking system, mereka tidak antisipasi ekonomi digital sampai begitu berkembang. Lalu trade war di mana upaya mengkaji ulang perjanjian bilateral yang sedang dilakukan AS dan negara lain," kata dia.

Sementara itu, Ketua Progres 98 Faizal Assegaf menyatakan, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap USD yang mendekati psikologis baru Rp 15.000 masih dalam batas kewajaran.

"Masalah rupiah ini seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan seluruh rakyat. Dan sampai sejauh ini, gejolak rupiah masih dalam batas kewajaran," ungkap dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya