Liputan6.com, Beijing - Keputusan Presiden China, Xi Jinping yang memilih untuk tidak menghadiri peringatan 70 tahun berdirinya Korea Utara dinilai sebagai langkah bijak untuk menghindari sejumlah masalah.
Para analis menilai, apabila Xi Jinping tetap datang ke Korea Utara maka kemungkinan besar pihak Washington DC akan menganggap kemajuan program denuklirisasi di Semenanjung Korea hanya akan jalan di tempat, dan memperuncing ketegangan kedua negara terkait masalah pedagangan AS dan China.
"Kehadiran Xi di podium dan berdiri berdampingan dengan Kim Jong-un dalam keadaan seperti ini dinilai sangat tidak tepat," ujar Zhao Tong, peneliti dari Carnegie-Tsinghua Center for Global Policy, demikian dikutip dari laman Voice of America, Sabtu (8/9/2018).
Baca Juga
Advertisement
"Hal ini dapat ditafsirkan bahwa China secara tidak langsung mengakui status nuklir Korea Utara," tambahnya.
Sun Yun adalah direktur program Asia Timur dan China di lembaga riset Stimson Center yang berbasis di Washington.
Ia mengatakan, kekhawatiran yang muncul mencakup perangkat militer yang akan diperagakan sewaktu Pyongyang merayakan hari jadinya, dan ketegangan akibat masalah perdagangan yang meningkat.
Sun Yun juga mengemukakan alasan praktis, apabila Xi ke Korea Utara, kunjungan itu akan berlangsung pada penghujung pekan yang sibuk baginya.
Sejak akhir pekan lalu, Xi sibuk mengadakan pertemuan dengan sederetan pemimpin Afrika. Beijing juga menjadi tuan rumah Forum Kerjasama China-Afrika.
Meski demikian, Sun mengatakan bahwa Presiden Xi kemungkinan besar akan tetap datang ke Pyongyang. Namun, dalam waktu dan kondisi yang dianggap lebih tepat.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Korea Utara Siapkan Parade Militer dan Aksi Pamer Rudal
Pemerintah Korea Utara disebut akan mengadakan parade militer besar-besaran pada Minggu, 9 September 2018 untuk menandai ulang tahun ke-70 negara itu.
Selain itu, Pyongyang juga dikabarkan akan kembali unjuk pamer berbagai senjata termutakhirnya, termasuk rudal, yang menurut para pengamat, merupakan tantangan terhadap berhentinya pembicaraan dengan AS tentang denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Dikutip dari The Guardian, parade tersebut dikabarkan akan dihadiri oleh beberapa pejabat asing, dengan disertai penampilan koreografi skala besar yang dikenal sebagai Misa, yang diadakan untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir.
Pameran perangkat militer dan bala tentara kemungkinan akan lebih besar dari pawai lain yang diadakan awal tahun ini, meskipun lebih tenang dibandingkan dengan tahun lalu, menurut analisis.
Adapun tentang misil balistik antarbenua, belum ada kabar apakah akan dimasukkan dalam parade atau tidak. Namun, jika tetap dihadirkan, pengamat menduga hal itu bisa dilihat sebagai langkah provokatif.
Padahal saat ini, Korea Utara telah berkomiteman menangguhkan uji coba nuklir dan rudal, menyusul pembicaraan berlanjut dengan para pejabat AS, setelah pertemuannya dengan Donald Trump di Singapura, 12 Juni lalu.
Di lain pihak, citra satelit tidak menangkap keberadaan kendaraan yang digunakan untuk membawa ICBM --nama resmi misil balistik antarbenua-- di area pawai parade, tetapi "senjata itu masih bisa berada di lokasi parade, bersamaan di pawai alat berat lainnya", menurut kelompok pemantau North 38.
"Kemungkinan akan jauh lebih besar daripada parade militer awal tahun ini," tulis pemimpin North 38, Joseph Bermudez.
Mintaro Oba, mantan diplomat AS yang fokus pada kebijakan Korea Utara, mengatakan: "Jika parade itu menampilkan ICBM, akan lebih bijaksana bagi Amerika Serikat untuk menyikapinya dengan tenang, sebagai tontonan propaganda Korea Utara, dan bukan sebagai sesuatu yang seharusnya secara material mempengaruhi negosiasi."
Oba menambahkan: "Korea Utara telah konsisten dalam menandakan bahwa ia kuat, mampu mempertahankan diri, dan bahwa statusnya sebagai tenaga nuklir adalah kesepakatan yang dilakukan. Saya membayangkan itu adalah tema terbesar yang akan kita lihat pada Minggu nanti."
Advertisement