Kehadiran Faker di E-Sports Asian Games 2018 Jadi Sorotan

Faker membuat institusi sekolah mengubah kebijakannya soal esports yang dimainkan di Asian Games 2018.

oleh Darojatun diperbarui 09 Sep 2018, 10:00 WIB
Ilustrasi beberapa gamer sedang bermain gim (Dewi Widya Ningrum/Liputan6.com)

Jakarta - Korea Selatan memang hanya merebut perak Asian Games pada cabang League of Legends (LOL). Meski begitu, salah satu penggawa tim Korea Selatan Lee Sang-hyeok menyita perhatian.

Juara dunia tiga kali LOL berusia 22 tahun yang ditaksir berpenghasilan 2,8 juta dolar AS (Rp 41,5 miliar) per tahun tersebut memiliki statistik pribadi yang mentereng di sepanjang Asian Games 2018.

Ketimpangan kemampuan figur berjuluk Faker dengan beberapa rekan setimnya memang akhirnya membuat mereka harus kandas di final, tapi media-media Korea Selatan dan China tetap melihatnya sebagai "dewa immortal" di ranah LOL. Fenomena ini tak urung sempat membuat para orang tua khawatir bahwa anak-anak yang memuja Faker akan memilih jalan yang sama dengan sang idola, yaitu putus sekolah demi serius berkarier di e-sports. 

Tidak mengherankan pula bila akhirnya media-media Asia pasca Asian Games 2018 mengarahkan fokusnya untuk membuka jalan tengah bagi para pelajar yang ingin berkarier sebagai atlet e-sports. Alih-alih putus sekolah, pelajar kini dapat memilih institusi pendidikan yang memiliki mata pelajaran e-sports dan berkompetisi di level antarsekolah dengan jumlah bayaran yang tak kalah besar. 

ESPN Asia sengaja mengangkat berita investasi New Enterprise Associates dari Silicon Valley senilai 15 juta dolar AS (Rp 222,5 miliar) untuk memastikan sebuah platform kompetisi e-sports di tingkat SMA dapat berjalan lancar. Platform bernama PlayVS tersebut juga kemudian mendapatkan suntikan dana dari tiga lembaga lain hingga total investasi naik tiga kali lipat.

Dengan lahirnya ajang PlayVS tersebut kini National Federation of State High School Associations (NFHS) sebagai payung kompetisi olah raga antar SMA di Amerika Serikat bisa menggelar kompetisi e-sports di total 50 negara bagian. Alhasil, sebagai dampak langsungnya kurikulum e-sports di level SMA perlahan-lahan pun harus beradaptasi demi menjaga tingkat persaingan masing-masing sekolah di level nasional. 

PlayVS akan menyediakan perangkat lunak dan membantu sekolah untuk memilih wakilnya dalam sebuah kompetisi e-sports. Dengan ekosistem olah raga seperti ini pada akhirnya para pemandu bakat dari perguruan tinggi pun akan dengan mudah memilih sekolah-sekolah unggulan di ranah e-sports untuk dikucuri bea siswa.

 


Blevins yang Tetap Bersekolah di AS

Lee Sang-hyeok (kiri) alias Faker, atlet e-sports handal Korea Selatan di nomor League of Legends.

Seperti halnya Faker di Korsel, di AS kini tengah naik daun seorang pelajar SMA bernama Tyler Blevins karena dikenal piawai memainkan nomor e-sports bertajuk Fortnite. Remaja berjulukan "Ninja" itu bisa meraup penghasilan sebesar 500 ribu dolar AS (Rp 222,7 juta) dari hadiah kompetisi dan sponsor.

Situasi ini sontak membuat Blevins lebih tenar di antara para pelajar yang semula mengincar untuk masuk tim American Football serta Basket  dan membuat para pengamat olah raga tradisional menjadi khawatir. Ya, tidak sama halnya dengan American Football dan Basket yang cenderung kian sulit mendapatkan talenta muda berbakat dalam lima tahun terakhir, e-sports justru makin diminati anak-anak dan remaja yang memilih untuk mengadu nasib di cabang olah raga baru ini.

Entah Faker atau Ninja, keduanya sama-sama memperlihatkan bahwa ke mana uang mengalir ke sanalah minat masyarakat juga ditarik dengan masif. Meski banyak pengamat olah raga khawatir pergeseran ini membuat generasi muda memilih jalan pintas untuk mendulang uang namun kenyataannya upaya adaptasi para pendidik dalam menyusun kurikulum baru di sekolah akan membuat para atlet e-sports muda tetap menuntaskan pendidikannya. 

E-sports sendiri diyakini tetap memiliki marwah olah raga karena untuk berkarier di dalamnya seorang atlet harus melakukan olah fisik yang membuat mereka fokus dalam berpikir dan menjaga kondisi mentalnya di tengah tekanan besar saat bertanding. Selain itu, mereka juga harus aktif berkomunikasi secara verbal dengan rekan setim atau pelatih untuk mencapai prestasi tertinggi sehingga sikap individualistis tidak punya ruang untuk berkembang di dalamnya. 

Faktor kecerdasan sosial ini jugalah yang sebenarnya harus diasah Faker jika ia ingin berhasil di saat e-sports dipertandingkan pada Asian Games 2022 di Hangzou. Pilihan untuk tetap bertahan di sekolah akan memudahkan remaja penggemar e-sports untuk tetap bersosialisasi secara sehat dengan sebaya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya