Perguruan Tinggi Bisa Ikut Jadi Pahlawan Devisa

Tidak hanya buruh migran, perguruan tinggi pun bisa menjadi pahlawan devisa untuk memperkuat rupiah.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 10 Sep 2018, 11:00 WIB
Para peserta mengantre untuk melakukan registrasi acara Emtek Goes To Campus (EGTC) 2018 di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Rabu (18/7). Kali ini, Semarang menjadi kota pertama dari rangkaian road show EGTC 2018. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Selama ini, orang-orang selalu menyebut para buruh migran adalah pahlawan devisa. Tentunya hal itu benar, dan ternyata perguruan tinggi juga bisa turut menjadi pahlawan bagi rupiah.

Pandangan itu diungkapkan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Ari Kuncoro. Ia menjelaskan bahwa selama ini yang difokuskan adalah mengirim mahasiswa ke luar untuk belajar, padahal yang sebaliknya bisa dilakukan, yaitu menarik mahasiswa asing untuk studi di Indonesia agar turut memperkuat ekonomi.

Ia menegaskan, hal itu bukanlah tidak mungkin. Sebab, Malaysia saja sudah mampu melakukannya.

"Perguruan tinggi kita bisa menyelamatkan devisa. Sementara ini kita berpikir orang Indonesia keluar di luar negeri, (lantas) kenapa Malaysia bisa membuat orang luar negeri sekolah di Malaysia? Berarti harus ada peningkatan kualitas di perguruan tinggi," ungkap Ari kepada Liputan6.com saat ditemui di kantornya.

Ari Kuncoro, yang meraih gelar doktor di Universitas Brown, menjabarkan perlunya internasionalisasi pada perguruan tinggi Indonesia untuk menarik mahasiswa asing. Hasilnya, devisa pun akan terbantu

"Internasionalisasi, akreditasi internasional, sehingga dia (perguruan tinggi) menjadi sektor penghasil devisa," jelas Komisaris Utama (Komut) BNI ini. 

Tak hanya pendidikan level perguruan tinggi, ia menjelaskan pentingnya membangun sekolah-sekolah vokasi. Sebab, Indonesia mempunyai potensi di sektor jasa yang kuat dan bisa diandalkan sebagai ekspor.

"Ada profesi-profesi seperti suster, tukang las, juru masak, dan yang bekerja di sektor-sektor kapal pesiar, ya itu potensi kita juga. Jadi, kita harus punya sekolah-sektor vokasi yang mendidik dengan skill-skill khusus seperti itu untuk bekerja di sektor jasa. Dan kalau dikumpulkan, itu ekspor juga," kata dia.


Jangan Hanya Fokus pada Manufaktur

Persiapan keberangkatan kapal besar (Direct Call) pembawa kontainer yang membawa ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, Ari mengatakan agar fokus pada sektor manufaktur perlu diimbangi dengan sektor manusianya. Apalagi Indonesia memiliki potensi besar di sektor jasa dan bisa cepat dioptimalisasi. 

"Sementara kita membetulkan manufakturnya, kan manufaktur perlu proses, sekarang baru infrastruktur, nanti lama-lama SDM-nya, setelahnya teknologi, inovasi, bisa, tapi agak lama. Yang bisa dimanfaatkan adalah sektor jasa," jelas dia. 

Ari mendukung terciptanya kebijakan sektoral di bidang jasa, terutama di bagian insentif untuk meningkatkan keahlian pekerja di sektor tersebut. "Kalau misalnya sumber daya manusia diperbaiki, relatif lebih gampang," jelasnya.

Ia pun menjelaskan agar pemerintah tidak melulu fokus pada manufaktur, dan bahwa potensi sektor jasa Indonesia tidak terbatas di sektor pariwisata.

"Dulu selalu kita pikir manufaktur. Enggak. Jasa. Yang baru diotak-atik baru pariwisata, tidak terpikir kita bisa mengirim juru masak, suster, itu merupakan remittance, bisa kita gunakan untuk menopang stabilisasi rupiah," dia menandaskan.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya