Kembali Menengok Penglipuran, Salah Satu Desa Terbersih di Dunia

Masih ingat Penglipuran, Desa adat di Bali yang didapuk menjadi salah satu dari tiga desa terbersih di dunia pada 2016? Kini jadi destinasi yang banyak dikunjungi wisatawan.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 11 Sep 2018, 03:00 WIB
Desa Penglipuran. (Foto: Shendy Aditya/ Kementerian Pariwisata)

Liputan6.com, Bangli - Pagi datang terlalu sebentar di jalan kota. Sejuknya hilang tergerus deru debu dan desing kendaraan bermotor. Tapi tidak di Penglipuran, sebuah desa adat di Bali yang pernah didapuk menjadi salah satu dari tiga desa terbersih di dunia. Pagi di sini terasa begitu lama, sejuknya tak pernah hilang meski matahari terus beranjak naik.

Penglipuran yang berada di kawasan Bangli punya luas wilayah 112 hektare, terdiri dari pemukiman penduduk seluas 9 hektare yang dikavling menjadi 76 pekarangan dengan 240 kepala keluarga.

Desa yang menjadi tempat bagi sekitar 1.000 orang ini dikelilingi hutan bambu seluas 45 hektare, yang juga berfungsi sebagai kawasan resapan. Sementara 55 hektare lahan berfungsi sebagai tegalan atau ladang garapan, dan sisanya seluas 3 hektar menjadi kawasan fasilitas umum.

I Wayan Supat, Ketua Adat Desa Penglipuran kepada Liputan6.com mengatakan, sebagian besar kawasan Desa Penglipuran merupakan hutan bambu, dan ini sudah dilestarikan dari para tetua adat sebelumnya.

"Empat puluh persen kawasan Penglipuran itu hutan bambu, sebagian besar, kami menyebutnya bambu forest,  itu menjadi pelindung desa kami," ungkap Wayang Supat.


Pelestarian Lingkungan

Desa Penglipuran. (Foto: Shendy Aditya/ Kementerian Pariwisata)

Wayan Supat mengatakan, Bambu Forest merupakan konsep orang adat yang peduli terhadap pelestarian lingkungan.

"Orang adat itu punya falsafah Trihitaka, tri artinya tiga, hita bermakna harmoni atau seimbang, karena itu sumber penyebab. Jadi tiga yang menyebabkan keharmonisan. Apa saja itu?"

Pertama Parahyangan, yaitu hubungan harmonis manusia dengan Tuhannya, kedua pawongan, hubungan harmonis dengan sesama manusia, dan pelamahan hubungan harmonis dengan alam. Nah hutan bambu ini merupakan refleksi dari palemahan.

Tak hanya itu, hutan bambu ini juga menjadi batas antara satu desa dengan desa lainnya. Di utara berbatasan dengan Desa Khayang, di sebelah barat Desa Cekang, di timur Desa Kubu.

“Makanya di Bali ini khususnya di Penglipuran, tidak akan terjadi seperti apa yang terjadi antara Jakarta dan Bogor, karena topografi kamu sejak dulu saling menyelamatkan, itulah pinternya tetua adat kita. Kami di sini konsisten seperti itu, 2001 kami bahkan pernah bertengkar dengan pemerintah gara-gara hutan bambu kami ingin dibeli untuk pusdiklat,” kata Wayan Supat menceritakan.

Wayan juga menjelaskan, kurangnya minat anak desa pada pertanian menjadi salah satu kendala bagi desa. Namun demikian Wayan meyakini, pada usia di atas 50 tahun, anak-anak desa yang merantau akan kembali lagi ke desa untuk menjadi petani.

"Anak-anak kami sudah banyak yang bekerja di sektor jasa, ada kurang lebih 70 orang dari 1.000 jiwa jumlah penduduk kami yang bekerja di luar negeri. Ini jadi kendala kita di bali dan Indonesia pada umumnya, anak-anak jarang ada yang amu jadi petani, tapi apa boleh buat, pasti mereka akan kembali setelah usia 50 tahun," kata Wayan Supat.

 


Hukuman Adat

Desa Penglipuran. (Foto: Shendy Aditya/ Kementerian Pariwisata)

Yang menarik, Desa Penglipuran punya beberapa aturan adat dan hukumannya yang sampai saat ini masih diterapkan, salah satunya adalah Karangmemadu, yaitu larangan poligami bagi penduduk desa.  Jika ada yang melanggar akan dihukum dengan cara dikucilkan dan dibuatkan rumah sendiri di kawasangan Karangmemadu.

“Warga Desa Penglipuran tidak boleh poligami, tidak boleh punya istri lebih dari satu. Jadi hakikatnya adalah untuk pemberdayaan perempuan, tidak boleh poligami itu kan secara tidak langsung wanita di penglipuran ini terjamin, dilindungi haknya, berani poligami akan ditempatkan di pekarangan itu. Itu berupa sanksi, itu dikucilkan. Sama seperti kita sudah di LP,” kata Wayan Supat menjelaskan.

Tak hanya itu, hukuman bagi warga yang poligami juga akan berlaku bagi anak-anak dan keturunan selanjutnya. Bahkan hukuman yang terberat adalah pelaku tidak boleh masuk ke tempat ibadah, atai bakan bisa diusir dari desa. Dengan falsafah kalapatra yang diyakini, warga Desa Penglipuran bebas menikmati budaya lain sejauh tidak mencemari kebudayaan dan adat-istiadat desa sendiri. Tak heran jika banyak orang menaruh perhatian yang lebih pada keberadaan desa wisata yang satu ini.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya