Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada semester II 2018. Tekanan terhadap rupiah didorong sentimen eksternal dan internal.
Rupiah melemah 9,52 persen dari 2 Januari 2018 di posisi 13.542 per dolar Amerika Serikat (AS) ke posisi 14.835 per dolar AS pada Senin 10 September 2018. Hal itu berdasarkan patokan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor).
Nilai tukar rupiah bahkan sempat sentuh level terendah di posisi 14.927 per dolar AS pada 5 September 2018. Bila melihat kurs tengah BI, rupiah merosot terjadi sejak Mei 2018. Rupiah pertama kali sentuh posisi kisaran 14.000 pada 9 Mei 2018 di posisi 14.074.
Baca Juga
Advertisement
Sebelumnya, Head of Indonesia Equity Research Citigroup Securities Indonesia, Ferry Wong menuturkan, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat dipengaruhi faktor global terutama Argentina. Krisis ekonomi Argentina mempengaruhi negara berkembang. Akan tetapi, kondisi ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang Argentina.
Salah satunya dilihat dari defisit neraca transaksi berjalan. Argentina alami defisit 4,8 persen. Sedangkan data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat USD 8 miliar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan defisit kuartal sebelumnya USD 5,7 miliar atau 2,21 persen dari PDB. Hingga semester I 2018, defisit transaksi berjalan baru mencapai 2,6 persen dari PDB.
Meski demikian, Ferry menambahkan, defisit transaksi berjalan Indonesia yang capai tiga persen terhadap PDB pada akhir kuartal II 2018 menekan rupiah. Ferry memperkirakan rupiah masih akan tertekan hingga akhir tahun.
"Karena faktor Argentina mulai kena lagi dan current account defisit bukan hal yang baru dan masih akan menekan hingga akhir tahun. Semua negara emerging market tertekan juga jadi cuma ikut perlahan dari negara lain," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Senin (10/9/2018).
Ia menambahkan, pemerintah sudah melakukan hal yang perlu dilakukan untuk stabilkan nilai tukar rupiah antara lain penerapan perluasan biodiesel 20 persen dan mengendalikan impor. Namun, dampaknya tidak bisa langsung. "Saya rasa investor tidak terlalu khawatir karena semua juga begitu,” kata dia.
Rupiah Merosot Jadi Momen Dongkrak Ekspor
Sebelumnya, kondisi nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat dinilai bukan hanya menjadi mimpi buruk bagi Indonesia. Kondisi saat ini bisa jadi momentum yang menguntungkan.
Pengusaha sekaligus mantan Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel mengungkapkan, kondisi saat ini seharusnya dimanfaatkan untuk mendongkrak ekspor sebanyak-banyaknya sebab rupiah yang bisa didulang akan menjadi lebih besar nilainya.
Apalagi, Indonesia bukan kali pertama menghadapi kondisi rupiah tertekan. Seharusnya kondisi-kondisi di masa lalu dapat dijadikan pengalaman yang berharga dalam menghadapi kondisi serupa.
"Sekarang ini momentum, kejadian sekarang ini kalau rupiah melemah kita sudah mengalami bukan pertama kali sudah mengalami tahun 97 kita alami. Di samping itu kita juga sudah mengalami devaluasi jadi ini bukan hal yang baru," kata Rachmat dalam sebuah acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9/2018).
Dia melanjutkan, saat ini seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan kondisi nilai tukar rupiah melemah untuk mengeruk untung dengan cara meningkatkan ekspor.
"Sekarang adalah bagaimana memanfaatkan kalau untuk saya ini peluang sebetulnya sebagai pengusaha ini peluang. Bagaimana kita bisa dorong ekspor kita dari Indonesia," ujar dia.
Namun, hal itu tentu saja tidak mudah. Dia menyebutkan, pemerintah perlu turun tangan membantu pengusaha menghadapi kendala-kendala ekspor yang kerap terjadi.
"Tentu untuk bisa mendorong ekspor kita apa hambatan-hambatan yang dihadapi para pengusaha. Ini yang menurut saya, sebetulnya tidak terlampau khawatir dengan masalah ini (pelemahan Rupiah)," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement