Liputan6.com, Kampar - Waktu yang ditentukan untuk menangkap ikan di lubuk larangan Sungai Subayang, Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, akhirnya tiba. Setahun menunggu, ratusan warga di Kabupaten Kampar, Riau, itu diperbolehkan masuk ke sungai dan menangkap ikan.
Perangkap dipasang membentuk lingkaran dengan radius puluhan meter. Prosesi adat ini dimulai dengan pelemparan jaring pertama oleh orang yang dituakan atau yang disebut ninik mamak pada Minggu siang, 9 September 2018.
Sabetan ikan pertama diangkat. Tak langsung diangkat ke darat, melainkan langsung dipotong dua di tengah sungai. Satu bagian di kembalikan ke sungai, sisanya dibawa ke darat untuk nantinya dimakan beramai-ramai.
Baca Juga
Advertisement
"Yang dikembalikan ke sungai sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan leluhur. Sementara yang dimakan merupakan bentuk syukur atas apa yang diberikan alam," kata Kepala Desa Aur Kuning, Damri.
Damri menjelaskan, tradisi di lubuk larangan ini dikenal dengan istilah "mancokau". Sudah berlangsung secara turun temurun di lokasi yang berbatasan langsung dengan Hutan Rimbang Baling itu.
Acara ini diiringi dengan musik tradisional setempat seperti calempong, gendang dan gong. Shalawat juga dilantunkan oleh pimpinan adat setempat, diikuti warga lainnya di tepi sungai.
Pimpinan adat juga berdoa agar sungai yang masih asri itu tetap terjaga. Apalagi, beberapa lokasi di sungai yang tidak termasuk lubuk larangan menjadi nadi perekonomian masyarakat setempat.
"Tangkapan pertama pertanda masyarakat mulai boleh menangkap ikan di lubuk larangan itu," jelas Damri.
Menurut Damri, tradisi ini biasa dilakukan saat air sedang surut. Jauh sebelum itu, tokoh adat terlebih menentukan harinya dan diberitahukan ke ratusan kepala keluarga di sana untuk meramaikannnya.
Hasil tangkapan ikan beragam. Namun biasanya masyarakat lebih memburu ikan jenis Barau. Ikan ini dikenal dengan daging tebal dan manis, serta menjadi endemik di lokasi tersebut.
Membangun Desa
Hasil tangkapan besar biasanya akan dilelang. Uangnya tidak diserahkan ke pemerintah desa, melainkan dipegang tokoh adat. Uang akan digunakan untuk pembangunan desa serta pembangunan tempat ibadah.
"Biasanya untuk membangun mushalla di desa atau membantu perbaikannya," sebut Damri.
Masyarakat yang ingin membawa ikan pulang, tambah Damri, terlebih dahulu membayar nominal yang disepakati. Untuk tahun ini, tokoh adat mematoknya Rp 15 ribu saja per ekor.
"Uangnya dipegang 'nagowi' atau tokoh adat. Gunanya untuk pembibitan ikan lalu diletakkan ke sungai lagi," sebut Damri.
Tak semuanya dibawa pulang, ada pula ikan yang disisihkan untuk dimasak kaum emak-emak. Warga juga membawa makanan pelengkap lainnya dari rumah. Nantinya dimakan secara bersama-sama di lokasi yang sudah ditentukan.
"Tradisi ini juga mempererat silaturahmi antara masyarakat karena saling bahu membahu menangkap ikan dan memasaknya," ucap Damri.
Dengan berakhirnya tradisi ini, masyarakat harus bersabar menangkap ikan di lubuk larangan ini untuk tahun depan. Masyarakat hanya boleh menangkap ikan di lokasi lain untuk menjaga ekosistem di sana.
Bagi yang tertangkap tangan atau dilaporkan menangkap ikan di lubuk ini, sanksi adat sudah menunggu. Tokoh adat akan berembuk menentukan hukuman bagi pelanggar.
"Bisa saja sanksinya membeli seribu benih ikan untuk ditaruh di lubuk larangan, atau menggantinya pakai uang," tegas Damri.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement