Legenda Buaya Putih di Situs Lawang Sanga Cirebon

Diyakini buaya putih yang sering muncul merupakan jelmaan salah seorang putra dari Sultan Sepuh I Syamsudin Martawijaya.

oleh Panji Prayitno diperbarui 13 Sep 2018, 03:00 WIB
Situs Lawang Sanga Cirebon menjadi pintu masuk tamu atau utusan kerajaan di nusantara pada zaman dulu. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Beragam situs peninggalan sejarah Cirebon masih terlihat tegak berdiri. Seperti Situs Lawang Sanga di Kampung Mandalangan Kelurahan Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon di depan sungai Kriyan Cirebon.

Berada di belakang Keraton Kasepuhan Cirebon, situs Lawang Sanga merupakan bangunan yang memiliki sembilan pintu. Satu pintu berada di depan, empat pintu berada di samping, tiga pintu berada di belakang, dan satu pintu berada di tengah.

Pada perkembangannya, situs Lawang Sanga menyimpan mitos di lingkungan masyarakat Cirebon, yakni munculnya sosok buaya putih di antara Sungai Kriyan dan situs Lawang Sanga.

Masyarakat meyakini, buaya putih yang hidup di Sungai Kriyan itu diyakini sebagai penjaga situs Lawang Sanga.

"Buaya putih tidak buas karena diyakini merupakan kutukan oleh Sultan," ujar juru Kunci Lawang Sanga Cirebon Suwari (71).

Dia menceritakan buaya putih yang hidup di Sungai Kriyan merupakan jelmaan salah seorang putra dari Sultan Sepuh I Syamsudin Martawijaya.

Diketahui, anak dari Sultan Syamsudin yang dikutuk menjadi buaya putih bernama Elang Angka Wijaya. Dia menuturkan, dikutuknya Elang Angka Wijaya menjadi siluman buaya putih karena semasa di dunia dia tidak pernah patuh terhadap perintah ayahnya.

"Elang Angka Wijaya ini memiliki kebiasaan kalau makan sambil tiduran, tungkurap. Sultan selalu menasihati agar tidak seperti itu tapi kerap diabaikan. Hingga akhirnya sultan berucap anaknya kalau makan tengkurap seperti buaya. Ucapan orang dulu kan manjur," ucap ujar dia. ‎

Sejak menjelma menjadi buaya putih, Elang Angka Wijaya hidup di lingkungan di salah satu kolam yang berada di salah satu bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon. Namun, menginjak usia dewasa, buaya putih tersebut pindah ke kawasan Sungai Kriyan.

Menurut dia, cerita rakyat mengenai buaya putih di Cirebon ini menjadi pelajaran penting dalam kehidupan sehari-hari. Hingga saat ini, masyarakat sekitar Sungai Kriyan masih memercayai mitos buaya putih tersebut.

Bahkan, ada tradisi tersendiri saat masyarakat sekitar melihat buaya putih. "Lempar tumpengan ke sungai kalau ada masyarakat yang melihat buaya putih. Sama-sama menjaga lingkungan," kata dia.


Filosofi 9 Pintu

Situs Lawang Sanga Cirebon menjadi pintu masuk tamu atau utusan kerajaan di nusantara pada zaman dulu. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Didominasi warna putih dan merah, Lawang Sanga diketahui merupakan salah satu bangunan bersejarah terkait sistem pengiriman upeti pada zaman kesultanan Cirebon.

"Tercatat bahwa Lawang Sanga dibangun oleh Pangeran Wangsakerta pada era Sultan Sepuh I Syamsudin Martawijaya tahun 1677 masehi," ujar Lurah Keraton Kasepuhan Cirebon Mohammad Maskun, Rabu, 12 September 2018.

Dia menuturkan, Lawang Sanga memiliki fungsi sebagai syahbandar dan pintu masuk tamu atau utusan kerajaan-kerajaan dari Nusantara pada zaman dulu.

Saat itu, pada zaman kesultanan Cirebon, pengiriman upeti dari para tamu melalui Lawang Sanga. Dia menjelaskan, jumlah pintu yang ada di Lawang Sanga sebagai simbol sembilan lubang di tubuh manusia.

"Lubang hidung, mulut, telinga, mata, dubur, dan kelamin. Artinya memiliki nilai filosofis soal kehidupan. Sembilan ini dianggap sebagai angka sempurna," ucap Maskun. ‎Beragam prosesi ritual kerap digelar dalam setiap momen tertentu seperti Maulidan dan Kliwonan, termasuk ritual sedekah bumi pada bulan 1 Suro.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya