Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera menutup atau memblokir perusahaan financial technology (fintech) yang terbukti melakukan pelanggaran hak-hak konsumen, baik secara perdata dan atau pidana.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan, upaya tersebut perlu dilakukan OJK mengingat banyaknya pengaduan konsumen yang menjadi korban perusahaan fintech.
Terlebih saat ini sudah lebih dari 100 pengaduan konsumen korban fintechditerima YLKI, baik berupa teror, denda harian dan atau bunga atau komisi yang tinggi.
"Pelanggaran itu berupa teror fisik by phone, whatsapp atau SMS. Pelanggaran juga berupa pengenaan denda harian yang sangat tinggi, misalnya Rp 50 ribu per hari dan atau bunga 62 persen dari hutang. Ini jelas pemerasan," ungkap Tulus melalui keterangan resminya, Rabu (12/9/2018).
Baca Juga
Advertisement
YLKI juga mendesak OJK untuk segera memblokir perusahaan fintech yang tidak mempunyai izin (ilegal), tetapi sudah melakukan operasi di Indonesia.
Dari lebih 300 perusahaan fintech yang beroperasi, hanya ada 64 perusahaan saja yang mengantongi izin dari OJK. "Ini menunjukkan OJK masih sangat lemah dan atau tidak serius dalam pengawasannya," imbuhnya.
Oleh karenanya, YLKI meminta konsumen untuk tidak melakukan utang piutang dengan perusahaan fintech atau kredit online yang tidak terdaftar dan berizin dari OJK.
Jika konsumen nekat dan terjebak pada hutang piutang dengan perusahaan fintek atau kredit online ilegal, maka tidak ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
Segera Lapor Polisi
Selain melaporkan pada OJK, YLKI menghimbau konsumen yang menjadi korban teror dari perusahaan fintech atau kredit online, untuk segera melaporkan secara pidana ke polisi.
Patut diduga apa yang dilakukan pihak fintech kepada konsumen, berupa teror dan penyedotan data pribadi secara berlebihan, adalah tindakan pidana.
"YLKI menghimbau dengan sangat pada konsumen untuk membaca dengan cermat atau teliti persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan fintech atau kredit online tersebut," kata dia.
"Sebab teror yang dialami konsumen bisa jadi bermula dari ketidaktahuan konsumen membaca aturan, persyaratan teknis yang ditentukan oleh perusahaan fintek tersebut," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement