AS Akan Hukum China atas Dugaan Pelanggaran HAM terhadap Minoritas Uighur

Pemerintahan AS mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap China atas perlakuannya terhadap minoritas Uighur, The New York Times melaporkan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 13 Sep 2018, 09:01 WIB
Pria etnis Uighur di Urumqi, Xinjiang (Liputan6/Arie Mega Prastiwi)

Liputan6.com, Washington DC - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap China atas perlakuannya terhadap kelompok minoritas Uighur yang mayoritas Muslim, menurut laporan media AS.

Laporan The New York Times pada hari Senin, 10 September 2018 mengutip mantan pejabat dan yang masih menjabat saat ini, mengatakan bahwa Gedung Putih sedang mempertimbangkan tindakan hukuman terhadap Beijing atas pelanggaran hak asasi manusia, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (13/9/2018).

Akan tetapi, pada konferensi pers pada Selasa, 11 September, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Heather Nauert, menolak untuk mengonfirmasi apakah sanksi sedang dipertimbangkan.

Namun, laporan The New York Times mengatakan, diskusi tentang bagaimana menghukum China atas pelanggaran HAM  terhadap Uighur, telah dilaksanakan oleh Gedung Putih, Kementerian Keuangan dan pejabat Kementerian Luar Negeri selama berbulan-bulan.

Pejabat yang menjadi sumber laporan The Times itu mengatakan, situasi yang dihadapi orang-orang Uighur menjadi "perhatian luar biasa dari pemerintah Amerika Serikat," sebuah hal yang turut diakui oleh Nauert.

"Kami sangat prihatin dengan tindakan keras yang memburuk, tidak hanya pada orang Uighur, tetapi juga pada Kazakh dan Muslim lainnya di wilayah China itu," kata Nauert.

"Ada laporan yang dapat dipercaya di luar sana bahwa banyak, ribuan orang telah ditahan di pusat-pusat penahanan sejak April 2017, dan jumlahnya cukup signifikan dari apa yang bisa kami sampaikan sejauh ini," ujarnya menambahkan.

 

Simak video pilihan berikut:


Kritik dari PBB untuk China

Pria Uighur di Provinsi Xinjiang, China (Liputan6.com/Arie Mega Prastiwi)

China telah menghadapi kritik keras dalam beberapa bulan terakhir, karena laporan tentang perlakuan yang  dianggap membatasi kebebasan untuk mengekspresikan hak beragama kelompok muslim Uighur.

Negara itu dituduh menjalankan "kamp pendidikan", di mana orang Uighur dipaksa untuk meninggalkan aspek keyakinan agama mereka dengan seolah-olah belajar tentang budaya dan paham komunis China.

Media yang didukung negara menyebut kamp-kamp itu sebagai "pusat pelatihan anti-ekstremisme", sementara para kritikus menyebut mereka sebagai "kamp konsentrasi".

Sebuah laporan PBB baru-baru ini mengungkapkan, program "pengawasan massal" yang tidak proporsional yang menargetkan orang-orang Uighur dan minoritas muslim lainnya.

Laporan lembaga swadaya Human Rights Watch (HRW) yang dirilis awal pekan ini mengatakan bahwa sebanyak satu juta orang ditahan di "kamp" di seluruh wilayah barat China.

Orang Uighur adalah kelompok etnis Muslim yang berbicara dalam bahasa Turki dan terkonsentrasi di Provinsi Xinjiang barat, di mana mereka membentuk mayoritas. Namun, status itu berubah menyusul migrasi oleh anggota kelompok Han.

Kampanye di Xinjiang datang di tengah penindasan yang lebih luas terhadap agama di Tiongkok, dengan minoritas Kristen di negara itu juga menjadi sasaran.

Pada hari Senin, gereja Zion Beijing dilarang beroperaso dan pihak berwenang menyita "materi promosi ilegal".

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya