Liputan6.com, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengimbau BUMN tidak mengambil banyak dolar Amerika Serikat (USD) dari Himpunan Bank Negara (Himbara). Langkah ini dilakukan untuk mengatur perusahaan BUMN yang sumber pendanaannya bergantung pada Dolar AS (offshore financing).
"Jadi saya sekarang menekankan, BUMN tidak terlalu mengambil dolar dan membeli dolar di Bank Himbara, sehingga Bank Himbara bisa supply Dolar ke pasar," ujar Menteri Rini di The Energy Building, Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Advertisement
Menteri Rini mengatakan, salah satu pasar Bank Himbara adalah eksportir yang telah lama menjadi nasabah Bank Himbara. Di mana, mereka turut melepas dolar AS di Bank Himbara usai melakukan kegiatan ekspor.
"Sekarang setiap harinya Bank Himbara dengan eksportir yang menjadi atau sudah lama menjadi nasabah Bank Himbara, mereka melepaskan dolarnya di Bank Himbara. Tiap hari Bank Himbara ke pasar jual dolar AS, bisa kalau yang mau ambil dolar AS sampai USD 100 juta per hari," katanya.
Untuk mengatur kebutuhan dolar AS perusahaan BUMN, pihaknya menyarankan agar melakukan pengaturan pinjaman dalam memenuhi kebutuhan barang modal. Salah satunya dengan memanfaatkan fasilitas pinjaman 3 sampai 5 tahun dalam pinjaman jangka panjang.
"Sebagai contoh Pertamina dalam memenangkan Blok Rokan kita harus bayar signature bonus kira-kira USD 700 juta. Nah itu kita akan menarik pinjaman jangka menengah. (Pinjaman) semuanya offshore," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Rupiah Menguat Tipis ke Posisi 14.847 per Dolar Amerika Serikat
Sebelumnya, Nilai tukar rupiah mulai terangkat dari pelemahannya. Pada Rabu (12/9/2018), rupiah di buka di level Rp 14.847 per Dolar Amerika Serikat (AS).
Mengutip data Bloomberg, rupiah menguat tipis dari penutupan sebelumnya di level 14.857 per Dolar AS. Saat ini, mata uang Garuda berada pada posisi 14.850 per Dolar AS.
BACA JUGA
Sebelumnya, Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia, Doddy Zulverdi meminta masyarakat agar lebih bijak dalam menanggapi depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS.
Menurut dia, yang harus diperhatikan adalah pergerakan pelemahan atau fluktuasi nilai tukar terhadap USD bukan hanya memerhatikan besaran nilai nominal Rupiah per USD.
"Di Australia, Korea, Malaysia, Thailand, nilai tukar bergerak itu nyaris tidak pernah jadi berita besar, kecuali perubahannya sangat cepat," kata dia, Senin (10/9/2018).
Kesalahan berbagai pihak saat ini adalah melihat nilai tukar mata uang sebagai angka psikologis. Padahal, nilai tukar mata uang seharusnya yang dilihat pergerakan angkanya itu sendiri.
"Orang tidak melihatnya (nilai tukar) sebagai angka psikologis, tapi seberapa cepat bergeraknya. Jika angka bergerak hanya 8 seperti saat ini dibandingkan semisal naik dari level Rp 2.500 sampai ke Rp 15.000, ya jelas berbeda, itu sangat jauh kenaikannya," jelas Dodi.
Dia pun menegaskan bahwa nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika sebesar Rp 15.000 yang terjadi saat ini sangat berbeda dengan nilai tukar yang sama yang terjadi pada krisis tahun 1998. Maka itu, kedua hal tersebut tidak bisa disamakan secara serta merta.
Advertisement