Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan berdampak kerugian pada BUMN, bahkan berpotensi gagal bayar pendanaan proyek infrastruktur hingga mengalami bangkrut.
Pengamat Ekonomi Christian Wibisono mengatakan, banyaknya proyek bisnis yang kini digarap BUMN juga masih dalam kategori aman secara pendanaan. Risiko kerugian atau gagal bayar pinjaman juga dinilai mustahil terjadi, seperti dalam pengerjaan infrastruktur oleh BUMN.
Dia mengungkapkan, proyek infrastruktur yang tengah dibangun saat ini bertujuan untuk kepentingan publik. Sehingga BUMN telah memiliki jaminan hitungan keuntungan ketika proyek tersebut beroperasi.
Baca Juga
Advertisement
"Tercapainya titik keseimbangan nilai tukar rupiah dapat dilihat melalui peningkatan ekspor dan mengurangi jumlah impor sehingga dapat menarik jumlah investor melalui proyek bisnis infrastruktur," ujar dia di Jakarta, Kamis (13/9/2018).
Christian menjelaskan, BUMN telah mempunyai dasar internal rate of return (IRR) untuk menjamin keuangan yang tidak berisiko dalam proyek bisnisnya. Bahkan, semua pelaku bisnis juga mengacu pada IRR ketika mengerjakan suatu proyek.
Menurut dia, melalui perhitungan IRR yang tepat maka BUMN menentukan stabilisasi rupiah sebab memiliki indikator tingkat efisiensi dari investasi proyek bisnisnya.
"Siapa pun itu kalau dia membangun ya memang harus untung, entah itu BUMN atau swasta. Ukuran kinerja dari BUMN adalah IRR. Di Singapura semua pembangunan infrastruktur dikelola oleh BUMN tapi efisien dan berkontribusi pada efisiensi nasional," ungkap dia.
Meski demikian, Christianto mengimbau agar BUMN semakin meningkatkan lagi secara berkelanjutan pengelolaan koorporasi yang profesional dan efisien. Sehingga perusahaan plat merah tidak lagi terjerat dalam inefisiensi birokrasi.
"Semua pembangunan harus diarahkan untuk mencapai tingkat produktivitas dan efisiensi yang berdaya saing global," tandas dia.
Perkuat Rupiah, BUMN Genjot Ekspor
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berkomitmen untuk terus mendorong ekspor produk BUMN yang bergerak di bidang industri strategis. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Adapun BUMN industri strategis yang pada tahun ini berkomitmen mengekspor produknya yakni PT Pindad (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Industri Kereta Api/INKA (Persero), PT Barata Indonesia (Persero) dan PT Dirgantara Indonesia (Persero).
"Komitmen ekspor tersebut akan tetap kami jaga demi mendukung penguatan Rupiah. Di sisi lain, ini menjadi kebanggaan bagaimana produk BUMN diakui oleh dunia," kata Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno kepada wartawan, Jumat (7/9/2018).
Pada tahun ini, Pindad memproyeksikan dapat mengekspor produk senjata, munisi dan kendaraan tempurnya ke Thailand, Brunei, Myanmar, Korea Selatan, Perancis serta untuk mendukung misi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Nilai yang ditargetkan dalam ekspor ini mencapai Rp 78 miliar.
Adapun PT INKA yang telah memiliki kontrak ekspor kereta dengan Filipina dan Bangladesh dengan nilai masing-masing mencapai Rp 1,36 triliun dan Rp 126 miliar.
Lalu, PT Krakatau Steel menargetkan ekspor baja hot rolled coil ke Malaysia dan Australia akan mencapai Rp 907 Miliar pada 2018. Serta Barata Indonesia yang akan mengekspor komponen perkeretaapian ke Amerika, Afrika dan Australia dengan target nilai mencapai Rp 210 miliar.
"Ada pula PT Dirgantara Indonesia yang berkomitmen ekspor pesawat terbang jenis NC212i ke Filipina dengan nilai PHP 813 juta dan CN235 ke Vietnam dengan nilai USD 18 juta," pungkas Harry.
Advertisement