Liputan6.com, Hanoi - Seorang pejabat tinggi Myanmar mengukuhkan bahwa pemimpin de facto sekaligus penasehat negara itu, Aung San Suu Kyi, tidak akan menghadiri Sidang Majelis Umum PBB yang akan mulai berlangsung pekan depan di New York, 18 September 2018.
Menteri Kerjasama Internasional Myanmar, Kyaw Tin, yang mendampingi Suu Kyi di Forum Ekonomi Dunia di Hanoi, Vietnam, pada 12 September 2018 mengatakan, perempuan itu tidak memiliki rencana pergi ke New York, markas PBB yang akan menjadi tuan rumah penyelenggaran Sidang Majelis Umum PBB, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (14/9/2018).
Advertisement
Kyaw Tin mengeluarkan pernyataan itu untuk menanggapi laporan surat kabar Myanmar 7 Days yang mengutip pernyataan seorang pejabat kementerian luar negeri. Keterangan tersebut tertulis, Aung San Suu Kyi tidak akan menghadiri pertemuan PBB itu, yang dimulai tanggal 18 September.
Aung San Suu Kyi juga tidak menghadiri sidang Majelis Umum PBB tahun lalu, ketika militer Myanmar (Tatmadaw) menghadapi tekanan internasional karena berbagai kasus pelanggaraan HAM yang dilakukan mereka terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya.
Simak video pilihan berikut:
PBB: Aung San Suu Kyi Bertanggungjawab dalam Krisis Rohingya
Beberapa pekan sebelum Sidang Majelis Umum PBB, sebuah laporan tim pencari fakta PBB menegaskan bahwa para pemimpin militer, termasuk panglima tertinggi Myanmar, harus diselidiki dan didakwa dengan tuduhan bertanggungjawab dalam genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang, atas tindakan mereka terhadap kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk setengah juta muslim Rohingya, di Negara Bagian Rakhine Agustus 2017 lalu.
Laporan itu, yang dikemukakan di Jenewa pada Senin 27 Agustus 2018 oleh Misi Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) di bawah naungan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB, merupakan hasil penyelidikan selama kurang-lebih satu tahun, dengan mewawancarai narasumber dan saksi, meriset, dan menganalisis berbagai data yang ditemukan.
Dalam laporannya, TPF Myanmar menemukan bahwa Tatmadaw (nama asli angkatan bersenjata Myanmar) telah mengambil tindakan yang "tidak diragukan lagi merupakan kejahatan yang paling berat di bawah hukum internasional," demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin 27 Agustus 2018.
Laporan TPF Myanmar juga menyebut bahwa pemerintah sipil, yang secara de facto dipimpin oleh pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, turut bertanggungjawab atas krisis kemanusiaan yang menimpa kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk muslim Rohingya, di Myanmar.
Pemerintah sipil, kata laporan itu, "telah gagal untuk menyuarakan penentangan atas peristiwa yang terjadi, menyebarkan 'narasi palsu', mengawasi penghancuran bukti di negara bagian Rakhine dan menghalangi penyelidikan independen."
"Melalui tindakan dan kelalaian mereka, pihak pemerintah sipil telah berkontribusi terhadap kejahatan keji tersebut," tambah laporan TPF Myanmar.
"Aung San Suu Kyi tidak menggunakan posisi de facto-nya sebagai kepala pemerintahan, dan tak juga menggunakan moralitasnya, untuk membendung atau mencegah peristiwa yang terjadi di Rakhine."
"Pemerintah dan Tatmadaw telah mengembangkan iklim di mana pidato kebencian tumbuh subur, pelanggaran hak asasi manusia dilegitimasikan, serta hasutan untuk diskriminasi dan kekerasan justru difasilitasi."
Juru bicara pemerintah dan militer Myanmar disebut belum memberikan komentar ketika dimintai keterangan oleh berbagai media asing.
Sebelumnya, para pemimpin Myanmar telah mengutarakan dalih dengan menegaskan secara pribadi kepada pejabat asing yang mempertanyakan krisis Rohingya bahwa Naypyidaw tidak mengontrol para jenderal militer atau tindakan mereka.
Namun, secara publik, pemerintah sipil mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan angkatan bersenjata (Tatmadaw), berkomitmen untuk memukimkan kembali ratusan ribu orang muslim Rohingya yang melarikan diri setelah tindakan keras militer, dan bekerja untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan di negara bagian Rakhine.
Advertisement