Liputan6.com, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang melarang anggota partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diterbitkan sejak 23 Juli 2018 menuai kontroversi. Pengamat hukum, Dodi S. Abdulkadir menilai putusan itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Saya dapat memahami keprihatinan DPD dengan adanya ketidakpastian hukum khususnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2019 yang merupakan amanah Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang keadaan tersebut justru diakibatkan adanya penafsiran yang keliru terhadap Putusan MK Nomor: 30/PPU-XVI/2018 Tertanggal 23 Juli 2018 yang merupakan garda terdepan pengawal Konstitusi," ungkap Dodi dalam keterangan persnya, Kamis (13/9).
Advertisement
Dia menjelaskan asas dari keberlakukan hukum tunduk pada Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 yang mengatur secara tegas mengenai pelarangan penetapan hukum secara retroaktif yang sebenarnya sudah diterapkan dalam amar Putusan MK.
Namun dalam perkembangannya, kata Dodi, terdapat pihak-pihak yang menafsirkan secara keliru Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 30/PUU-XVI/2018, terutama mengenai keberlakuan Putusan untuk diberlakukan mengatur proses administrasi hukum yang sudah berjalan sejak sebelum Putusan MK itu dikeluarkan.
Diterangkan Dodi, dengan mempertimbangkan bahwa DPD dan MK merupakan garda terdepan pengawal Konstitusi dalam menciptakan Kepastian Hukum dan Perlakukan Hukum yang taat asas sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Maka, sangat diperlukan penjelasan dari MK mengenai keberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 30/PUU-XVI/2018 Tertanggal 23 Juli 2018 yang baru dapat diberlakukan dalam Proses Pemilu 2024.
"Sudah seharusnya MK dapat sejalan dengan DPD untuk selalu tegas dan konsisten dalam mengawal konstitusi UUD 1945 dengan selalu bertindak tegas melakukan koreksi yang diperlukan untuk tegaknya kepastian hukum," tegasnya.
Selain itu, Dodi juga mewaspadai tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang seakan-akan menempatkan posisinya sebagai pembuat undang-undang yang 'super power'.
Hal ini ditunjukkan dibuatnya peraturan-peraturan yang bertabrakan dengan Undang-Undang di atasnya seperti PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota dalam Pemilu 2019.
Bertentangan UU Pemilu
Dalam PKPU tersebut, kata Dodi, pada bagian ketiga persyaratan bakal calon, yakni Pasal 7 Huruf H : Jika yang boleh mencalonkan diri "bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi" yang bertentangan dengan UU Pemilu sebagai payung hukumnya.
Selain bertentangan dengan UU Pemilu, lanjut Dodi, PKPU ini melawan azas praduga tidak bersalah dan bertentangan dengan criminal justice system yang mengatur adanya proses pemasyarakatan dari pelaku kejahatan yang sudah melaksanakan hukumannya.
"Apalagi ketentuan tersebut bersifat diskriminatif dan justru memberikan peluang bagi kejahatan terorisme yang mengancam kemanusiaan justru tidak dibatasi artinya bisa saja diduga KPU dengan sengaja membuka peluang bagi teroris untuk menjadi caleg. Ini jika meminjam cara berfikir KPU. Apabila hal ini benar, maka akan sangat berbahaya dan perlu adanya evaluasi yang mendalam untuk mencegah adanya tirani institusi yang dapat memporak-porandakan sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia," pungkas dia.
Reporter: Randy Ferdi Firdaus
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement