Negosiasi Dagang AS-China Beri Peluang Penguatan Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.801 per dolar AS hingga 14.844 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 14 Sep 2018, 11:17 WIB
Nasabah mengantre menukarkan mata uang USD di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Sebelumnya pada Selasa (4/9), Rupiah sempat mencapai level Rp 14.935 per dollar Amerika atau terlemah sejak 1998. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada perdagangan hari ini. Negosiasi dagang AS dengan China menekan dolar AS.

Mengutip Bloomberg, Jumat (14/9/2018), rupiah dibuka di angka 14.801 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.840 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.801 per dolar AS hingga 14.844 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 9,39 persen.

Berbeda, berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.835 per dolar AS. Patokan pada hari ini melemah jika dibandingan dengan Kamis kemarin yang ada di angka 14.794 per dolar AS.

Research Analyst FXTM Lukman Otunuga menjelaskan, kelegaan terasa di berbagai pasar finansial karena AS mengajukan negosiasi dagang baru dengan China. Berita ini berdekatan dengan sorotan bahwa AS dan Kanada semakin mendekati kesepakatan dagang, yang membuat dolar AS melemah terhadap mata uang lainnya.

Ketegangan dagang sejak lama terlihat sebagai faktor pendorong apresiasi dolar AS, dan indikasi bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump sudah tidak terlalu agresif memicu ketegangan dagang dianggap negatif untuk dolar AS.

Yuan China menguat karena berita bahwa Washington berkomunikasi dengan Beijing untuk melanjutkan negosiasi dagang, dan berbagai mata uang pasar berkembang Asia juga menguat karena peningkatan selera risiko.

Di Indonesia, rupiah sedikit menguat karena optimisme terhadap membaiknya hubungan AS China dan dolar AS yang melemah.

Walaupun rupiah dapat semakin menguat di jangka pendek, namun peningkatannya tetap terancam oleh berbagai faktor eksternal.

"Salah satunya adalah Bank Sentral AS yang diperkirakan akan meningkatkan suku bunga bulan ini dan gejolak di pasar berkembang membebani sentimen pasar," jelas dia. 

Bank Indonesia sudah meningkatkan suku bunga empat kali sejak pertengahan Mei sebagai upaya untuk mencegah rupiah semakin melemah. Ada kemungkinan bahwa BI akan bertindak lagi tahun ini, terutama mengingat bahwa AS masih mungkin meningkatkan suku bunga dua kali lagi.

"Walaupun kenaikan suku bunga BI dapat membantu ruipah, namun tindakan ini dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi," lanjutnya. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Antara Donald Trump dan Rupiah, Ini Kata Ekonom Senior UI

Petugas menunjukkan pecahan uang dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Nilai tukar Rupiah di pasar spot menguat tipis 0,06 persen ke Rp 14.926 per dollar Amerika. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Sebelumnya, kondisi rupiah yang sedang volatile acap disebut akibat faktor luar negeri. Istilah perang dagang dan krisis Turki kerap muncul. Bila membicarakan perekonomian global, pasti ada satu nama yang tak boleh diabaikan, yakni Presiden Donald J Trump.

Apakah benar Presiden Trump memiliki andil dalam pelemahan rupiah? Berikut penjelasan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro, sekaligus Komisaris Utama (Komut) BNI. 

"Sebenarnya dampaknya tidak langsung. Jadi dengan adanya prospek perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang katanya akan memperluas pengenaan tarif pada barang-barang China, bahkan tarifnya akan 100 persen, itu kekhawatirannya adalah perekonomian dunia akan melambat," jelasnya pada Liputan6.com ketika ditemui di Menara BNI, pekan lalu.

Para investor pun ikutan khawatir mendengar pernyataan-pernyataan seputar perang dagang. Dalam situasi ini, investor lebih memilih dolar yang dinilai sebagai aset yang paling aman.

"Maka yang terjadi adalah pertumbuhan dari negara emerging market juga akan melambat. Nah, kalau melambat, mereka (investor) khawatir rate of return mereka akan turun, jadinya ya sudah mereka pulling out saja dulu," lanjutnya.

Meskipun kondisi Indonesia jauh lebih baik ketimbang Turki, para investor sedang waswas dan mengira situasi Indonesia bisa seperti Turki (contagion effect, efek menular). Ari menyebut pemahaman itu adalah bentuk generalisasi semata.

Ari menegaskan, kondisi Indonesia jauh lebih baik ketimbang Turki, Brasil, Argentina, dan Afrika Selatan, yang sedang mengalami guncangan ekonomi. Sayangnya, bila kalangan investor sudah menarik modal akibat sentimen negatif, investor lain pun akan ikut-ikutan.

"Jadi dia (investor) ikut saja, orang antre ke sana, dia ikut antre ke sana. Jadi ini ketidakpastian yang sebenarnya pukul rata," jelas Ari.

Di samping perang dagang, hubungan panas antara AS dan Turki turut memberikan semacam efek domino pada perekonomian global. Pasalnya, negara-negara Eropa banyak memberi pinjaman ke Turki. Masalah yang awalnya antara AS dan Turki pun menjadi global.

"Dia (Turki) banyak pinjam ke negara Eropa. Yang menimbulkan juga problem ketidakpastian di negara-negara Eropa," ungkap Ari.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya