Liputan6.com, Jakarta - Polemik terkait mantan napi korupsi untuk bisa menjadi calon legislatif dalam Pemilu 2019 mendatang berakhir sudah. Ini menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) atas uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Dalam keputusan yang ditetapkan pada Kamis 13 September 2018, MA mengabulkan uji materi tersebut. Mahkamah menyatakan bahwa atas pertimbangan hakim, peraturan KPU yang melarang mantan napi korupsi maju menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu.
Advertisement
"Pertimbangan hakim, bahwa PKPU itu bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017," ungkap Juru Bicara MA Suhadi saat dikonfirmasi, Jumat 14 September 2018.
Pasal 240 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota huruf g menyebutkan:
"Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana"
Karena itu, ditegaksna sekali lagi, mantan napi korupsi boleh maju menjadi caleg sesuai aturan yang ada. Mereka dipersilakan mengikuti aturan yang berlaku.
Menanggapi putusan MA itu, KPU mengaku belum dapat mengambil sikap secara langsung. Beberapa langkah akan diambil, di antaranya menggelar rapat pleno.
Namun begitu, lembaga penyelenggara Pemilu itu belum dapat memastikan kapan rapat bakal digelar. Pihaknya masih menunggu salinan putusan MA lantaran informasi itu baru sebatas kabar dari pemberitaan media massa.
"Kami tidak ingin ambil kebijakan lalu dikritik, kami sangat tertib," ujar Komisioner KPU Viryan Azis dalam diskusi bertajuk "DPT Bersih, Selamatkan Hak Pilih" di Kantor KPU RI, Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (15/9/2018).
Dia menjelaskan Rapat Pleno juga membahas mekanisme perubahan Peraturan KPU (PKPU) khususnya PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Mekanisme itu, biasanya dilakukan dengan uji publik, Rapat Dengar Pendapat agar tidak ada kekeliruan seperti yang lalu.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta penyelenggara pemilu harus menaati aturan yang sudah diputuskan MA. Tidak boleh ada yang merasa kecewa dengan kebijakan itu.
"Enggak boleh ada yang kecewa, enggak boleh ada yang merasa menang. Ini kan proses penghormatan kita terhadap UU dan aturan yang ada," kata Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin di kantor KPU, Jumat 14 September 2018 malam.
KPK sebagai lembaga yang berkutat memberantas korupsi angkat bicara terkait putusan Mahkamah Agung tersebut. Kebijakan MA itu akan dihormati kendati KPK belum mempelajari lebih lanjut tentang putusan tersebut.
"Untuk putusan MA lengkapnya belum kami baca tetapi ada beberapa pemberitaan yang menulis itu dan pernyataan resmi dari MA. Ya tentu KPK sebagai institusi penegak hukum mau tak mau harus menghormati institusi peradilan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat 14 September 2018.
Meskipun, kata Febri, pada awalnya KPK sangat berharap adanya perbaikan signifikan yang bisa dilakukan bersama-sama untuk lebih menyaring calon-calon anggota legislatif agar tidak terjadi lagi korupsi di DPR atau di DPRD. Terlebih, banyak wakil rakyat yang sudah terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK.
"Di mana untuk kasus yang diproses KPK untuk DPRD saja ada 146 anggota DPRD yang sudah diproses sampai saat ini, dan kemungkinan akan bertambah sepanjang ada bukti cukup dan lebih dari 70 anggota DPR. Dengan fenomena ini, harapan ke depannya, parlemen kita bisa lebih bersih sehingga bisa disaring sejak awal," ucap Febri.
Saksikan video menarik berikut ini:
Cederai Keadilan
Rasa jengkel diungkapkan Sekjen PSI Raja Juli Antoni saat menanggapi putusan MA yang membolehkan mantan napi korupsi maju sebagai caleg. Dia menegaskan, putusan itu telah mencederai keadilan rakyat Indonesia.
"Saya menerima keputusan hukum ini dengan kecewa, gerah dan jengkel. Bagaimana rumah keadilan memberikan keputusan yang terasa tidak adil bagi rakyat," kata Juli Antoni kepada wartawan, Sabtu (15/9/2018).
Kekesalan yang sama juga disuarakan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai berlambang matahari ini menyayangkan keputusan Mahkamah Agung terkait mantan narapidana kasus korupsi bisa mendaftar sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019. PAN menilai keputusan MA itu kurang tepat.
"Sikap PAN sepakat, kita enggak perlu korupsi. Kita sayangkan keputusan (MA) itu. Kami tidak ingin ada koruptor di partai kami," kata Wasekjen PAN Faldo Maldini di Kawasan Cikini Jakarta Pusat, Sabtu (15/9/2018).
Dia memastikan bahwa PAN akan komitmen mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, kata Faldo, sudah mencoret nama-nama bakal caleg yang tersangkut kasus korupsi. Tak hanya itu, anggota DPRD Malang dari fraksi PAN yang terjerat kasus korupsi juga sudah diganti.
"Ketum kami sangat keras. Kami akan coret, ganti, bahkan (anggota) DPRD Malang langsung kita ganti. Sikap PAN sepakat kita enggak perlu korupsi. Masih ada orang lain yang nonkoruptor, kenapa tidak prioritaskan mereka?" jelasnya.
Namun pandangan berbeda diutarakan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Dia menilai keputusan MA yang membolehkan mantan narapidana korupsi maju dalam Pileg sebagai hal yang tepat.
"Tolong disebarkan berita (keputusan MA) itu, karena MA telah mengembalikan pengertian dan kesadaran kita tentang sesuatu yang benar. Bahwa KPU tidak boleh membuat norma, karena itu bukan merupakan tugas KPU," kata Fahri Hamzah dihubungi wartawan, Jumat 14 September 2018.
Menurut dia, yang berhak membuat norma hanya DPR bersama presiden. Sedangkan KPU hanya bertindak dalam pelaksana teknis undang-undang. Karena itu, KPU diminta untuk merevisi undang-undang yang telah ditetapkan.
"KPU untuk segera merevisi PKPU-nya yang sesuai undang-undang dan keputusan MA, serta MK sebelumnya," pungkas Legislator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
Dukungan terhadap MA juga datang dari Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun. Dalam akun twitternya, @ReflyHZ, dia mengungkapkan keputusan yang diambil Mahkamah terkait uji materi peraturan KPU itu sudah sesuai peraturan yang berlaku.
"Terlepas pro dan kontra yang ada, putusan MA itu tepat. KPU memang tidak berwenang membatasi hak politik X napi koruptor. Yang berhak adalah instrumen undang-undang dan vonis pengadilan,tapi...," tulis Refly.
"Ada baiknya kita mendorong parpol tidak mencalonkan eks napi koruptor. Parpol yang masih mencalonkan sebaiknya tidak dipilih...," lanjut dia.
Advertisement
Awal Polemik
Perdebatan sengit mulai muncul setelah KPU mengundangkan peraturan Nomor 20/2018 tentang larangan eks napi korupsi menjadi caleg di Pileg 2019. Perbincangan seru itu juga acap ditunjukkan oleh KPU dan Bawaslu.
Kedua lembaga penyelenggara pemilu itu tak seirama dalam menyikapi peraturan tersebut. Masing-masing pihak mengaku memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.
KPU menilai, peraturan itu dibuat atas dasar semangat antikorupsi. Kelak diharapkan masyarakat dapat memiliki wakil rakyat yang bersih dari persoalan korupsi.
"Nah itu harus dimulai dari rekrutmen calon legislatif, itu pintu masuk yang sangat penting," ungkap Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi
Aturan baru itu dinilai sebagai perluasan dari Undang Undang Pemilu No 7 Tahun 2017. Selain itu, tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, sama halnya dengan kejahatan seksual anak dan narkotika.
"Sebelumnya hanya mantan pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkotika yang dilarang, maka kami tambah ketentuan yang baru itu," ujar Komisioner KPU Wahyu Setiawan
Namun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tak setuju dengan peraturan KPU itu. Peraturan KPU tersebut dianggap bertentangan dengan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
"Kami kurang sependapat apabila misalnya pembatasan pencalonan mantan narapidana tersebut melalui sebuah peraturan KPU. Kalau mau silakan ubah UU. Itu akan jauh lebih elegan," kata dia di Gedung Banwaslu, Sabtu 5 Mei 2018.
Fritz menjelaskan, Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 telah mengatur secara jelas mengenai hak seseorang.
"Hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," kata dia, mengutip isi Undang-Undang tersebut.
Masing-masing lembaga saling berdiri dalam posisinya. Bawaslu dan KPU tetap keukeuh atas keputusan yang diambil hingga akhirnya Mahkamah Agung mengakhiri polemik itu dengan menerima pengajuan uji materi peraturan KPU tersebut.
Akhirnya, jalan gelap yang menutupi langkah eks narapidana korupsi untuk melenggang ke Senayan kini menjadi terang. Bola panas itu kini berada di tangan masyarakat. Mereka harus jeli saat menyeleksi wakilnya di parlemen dalam Pemilu 2019.
Jangan sampai saat memilih, ibarat membeli kucing dalam karung. Sehingga akan merugikan dan berdampak tak baik bagi masa depan bangsa.