Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, sebuah penemuan sains terjadi di Afrika Selatan. Sebongkah fragmen batu dari zaman purba ditemukan di negara tersebut. Benda ini diduga menyimpan fosil serupa kanvas, yang menurut para arkeolog adalah gambar buatan manusia tertua dalam sejarah manusia.
Sebagai salah satu contoh pemikiran artistik manusia pertama, batu yang sekilas terlihat sederhana itu memberikan wawasan unik tentang gagasan leluhur yang hidup beberapa puluhan ribu tahun lalu.
Advertisement
Pola silang yang tercetak oleh warna okre --lempengan warna tanah liat-- ditemukan terkubur di dalam Gual Blombos, di sebelah timur Cape Town, selama sekitar 73.000 tahun. Demikian sebagaimana dikutip dari Independent.co.uk pada Kamis 13 September 2018.
Temuan itu berhasil digali ketika para arkeolog menyaring puing-puing yang ditemukan di lantai gua, yang menyiratkan cukup banyak hasil temuan teknologi nenek moyang manusia di era Zaman Batu.
Temuan ini mematahkan anggapan para arkeolog sebelumnya, yang menyebut kemampuan manusia berpikir simbolis tidak muncul hingga Homo sapiens merambah Eropa sekitar 40.000 tahun lalu. Namun, setumpuk bukti serupa lainnya yang ditemukan terpisah dari Maroko hingga Indonesia, telah mengungkapkan bahwa manusia mulai berlatih seni jauh lebih awal.
Dengan penemuan oker merah --disebut sebagai "tagar" dalam jurnal sains di mana studi ini akan diterbitkan, Nature-- para arkeolog mengatakan, mereka juga mengidentifikasi adanya goresan yang lebih muda, yang digambar setidaknya 30.000 tahun lalu.
Selain penemuan batu tersebut, berikut adalah 7 penemuan paling menggemparkan dalam dunia sains, menurut laporan Live Science, Senin (17/9/2018).
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Kilatan Cahaya Misterius di Angkasa Luar
Para ilmuwan --yang mencari kehidupan di angkasa luar-- mengklaim bahwa mereka telah menemukan 72 sinyal radio misterius di Galaksi Bima Sakti. Gelombang tersebut terdeteksi oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) yang terdapat dalam mesin pencari alien.
Para peneliti dari SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) Institute menemukan sinyal yang tidak biasa itu ketika memeriksa data radio sebesar 400 terabyte dari sebuah galaksi kerdil, yang berjarak tiga miliar tahun cahaya dari Bumi. SETI adalah nama dari sekelompok usaha terorganisir untuk mendeteksi kehidupan ekstraterestrial. Sejumlah usaha yang tergabung di dalamnya diorganisir dan didanai oleh pemerintah Amerika Serikat.
Periset mengemukakan, hampir semua teknologi AI sudah mengotomatisasi analisis data dan menyisir kumpulan data besar untuk mengidentifikasi pola atau kejadian yang tidak biasa.
Sinyal yang ditemui oleh para ilmuwan --semburan radio cepat (Fast Radio Bursts atau FRB)-- berbentuk pulse (bunyi teratur) dan ditemukan pertama kali pada tahun 2007. FRBs diyakini oleh para peneliti berasal dari galaksi yang jauh dari Bumi, meskipun belum diketahui asal mulanya.
"Sifat dari objek yang memancarkan FRB tidak diketahui," kata SETI. "Ada banyak teori yang kami dapatkan, termasuk bahwa FRB adalah tanda dari sebuah teknologi yang dikembangkan oleh kehidupan di antariksa."
Pada tahun 2017, para ilmuwan di Harvard University menyatakan bahwa FRB kemungkinan muncul karena adanya kebocoran energi dari pemancar yang kuat di ruang hampa, yang dibangun oleh sebuah peradaban asing atau alien untuk kapal raksasa mereka, ketika melakukan perjalanan antarbintang (interstellar).
FRB terdeteksi dalam data yang dikumpulkan oleh Green Bank Telescope, bagian dari Radio Quiet Zone AS, di mana sinyal komunikasi nirkabel tidak boleh digunakan untuk mencegah gangguan dengan teleskop tersebut.
Gerry Zhang, seorang mahasiswa PhD di Berkeley University, adalah orang yang mengembangkan algoritma mesin pembelajaran (machine-learning) yang digunakan untuk memeriksa data sebesar 400 terabyte tersebut. Sedangkan peneliti lain telah mengidentifikasi temuan 21 FRB yang diduga berasal dari makhluk astral seperti alien.
"Karya milik Gerry menarik, bukan hanya karena bisa membantu kita dalam memahami perilaku dinamis FRB secara lebih rinci," papar Dr Andrew Siemion dari SETI. "Tetapi juga karena mesin itu mampu mendeteksi sinyal yang tidak bisa dibaca oleh algoritma klasik."
"Teknik baru ini telah meningkatkan kepekaan kami terhadap sinyal dari teknologi angkasa luar," imbuh Dr Siemion.
Sementara itu, hasil penelitian ini telah diterima untuk dipublikasikan dalam Astrophysical Journal.
Advertisement
2. Teori Bumi Datar di Kalangan Milenial
Sebuah survei nasional terbaru Amerika Serikat mengungkap hal yang mengejutkan, khususnya bagi para ilmuwan. Berdasarkan survei tersebut, hanya 66 persen warga berusia 18 hingga 24 tahun yang yakin bahwa Bumi itu bulat --dengan kata lain sepertiga milenial mempertimbangkan soal Bumi datar.
Namun, penemuan tersebut tak semata-mata menunjukkan "epidemi" bumi datar atau flat earth. Pasalnya, hanya 4 persen dari keseluruhan yang yakin bahwa Bumi itu datar.
Sembilan persen dari mereka percaya bahwa Bumi bulat, namun akhir-akhir ini merasa ragu. Sementara itu, 5 persen lainnya mengatakan bahwa mereka selalu percaya Bumi bulat, tapi ragu akan kesimpulan itu dan 16 sisanya tak yakin.
Teori Bumi Datar tercetus sekitar Abad ke-19. Namun, akhir-akhir ini mendapat sorotan, terutama karena pengaruh media sosial.
Sulit untuk menentukan secara tepat berapa banyak kaum Bumi datar. Namun, konferensi Flat Earth pertama kali gelar di Amerika Serikat pada 2017 dan menarik perhatian 500 orang.
Survei nasional terbaru yang dilakukan YouGov, meriset sekitar 8.125 warga dan hasilnya kemudian ditimbang untuk mewakili susunan demografi populasi AS. Sebagai perbandingan, 94 persen mereka yang berusia 55 tahun dan lebih tua meyakini bahwa Bumi bulat. Sementara itu usia 45-54 tahun sebesar 85 persen, 35-44 tahun 82 persen, dan 25-34 tahun 76 persen.
YouGov menyarankan, faktor demografi paling prediktif yang menjelaskan keyakinan Bumi datar adalah agama. Menurut survei, 52 persen dari mereka yang meyakini flat earth menyebut diri mereka "sangat reiligius".
Sisanya, 23 persen penganut Bumi datar lain menyebut diri mereka "agak religius", sementara 25 persennya mengatakan bahwa mereka tak terlalu religius.
Sementara beberapa survei berfokus pada keyakinan Bumi datar, survei lainnya menunjukkan bahwa warga Amerika goyah pada fakta yang umumnya diajarkan pada saat mereka telah mencapai kelas empat.
Jajak pendapat Gallup pada 1999 menemukan bahwa 18 persen warga AS mengira Matahari berputar mengelilingi Bumi, bukan sebaliknya.
Sementara itu, Google Trends menunjukkan bahwa minat pada teori Bumi datar telah meningkat selama beberapa tahun terakhir.
3. Facial Vampir
Sebuah spa di Albuquerque, New Mexico, menawarkan perawatan wajah atau facial yang tak biasa. Masase ini dikenal dengan facial vampir. Di balik khasiatnya, masase ini dianggap dapat mengekspos klien terhadap infeksi yang ditularkan melalui darah, menurut pernyataan dari Departemen Kesehatan New Mexico.
Facial vampir adalah jenis perawatan wajah dengan cara mengoleskan darah klien tersebut di mukanya sendiri. Beberapa orang yang telah mencoba masase ini mengklaim bahwa kesehatan kulit mereka meningkat dan keriput di wajah berkurang. Selain itu, facial vampir juga dianggap bisa melindungi kulit dari sengatan sinar matahari.
Akan tetapi, petugas Departemen Kesehatan New Mexico menerima laporan tentang seseorang yang terjangkit infeksi darah, yang diduga berasal dari prosedur masase wajah di VIP Spa. Selama pemeriksaan tempat tersebut, petugas mengidentifikasi praktik ini tidak aman karena membahayakan klien.
"Salah satu cara utama untuk menyebarkan infeksi tersebut adalah melalui kontaminasi jarum suntik atau pasien terkena jarum yang terinfeksi," kata Dr Michael Landen, Epidemiologis Negara Bagian New Mexico di Departemen Kesehatan New Mexico.
"Ini bisa terjadi karena cara penyimpanan jarum yang tidak tepat, penanganan dan tidak pernah diganti," imbuhnya.
Departemen Kesehatan New Mexico sejak itu menutup VIP Spa. Otoritas juga mendesak siapa pun yang melakukan perawatan wajah vampir atau perawatan berbasis injeksi lainnya di VIP Spa untuk diuji HIV, hepatitis B dan hepatitis C secara gratis di Kantor Kesehatan Umum Midtown --bagi mereka yang datang ke VIP Spa pada Mei atau Juni 2018.
Advertisement
4. Ikan yang Tembus Pandang
Tiga spesies ikan baru, yang diberi nama Pink, Purple, dan Blue sesuai warnanya telah ditemukan di dasar salah satu bagian terdalam Samudra Pasifik.
Ikan ini termasuk ke dalam keluarga siput (Liparidae), dengan kepala bulat, tembus pandang, berbentuk seperti pita dan tanpa sisik. Spesies ini ditemukan di Palung Atacama di lepas pantai barat Chile dan Peru pada kedalaman hampir 8.000 meter. Bentuknya yang tidak biasa dirancang untuk menahan suhu dingin dan tekanan ekstrem.
"Tanpa tekanan ekstrem dan dingin untuk mendukung bentuknya, ikan-ikan ini sangat rapuh dan meleleh dengan cepat jika dibawa ke permukaan," kata Thomas Linley, ilmuwan dari Universitas Newcastle di Inggris dalam pernyataan yang dirilis Senin 10 September 2018.
Linley memimpin tim 40 ilmuwan dari 17 negara yang membuat temuan itu. Penelitian ini berhasil merekam video ikan tersebut di lingkungannya. Setidaknya satu spesimen yang dibawa ke permukaan hidup untuk dipelajari lebih lanjut.
Ada lebih dari 100 spesies ikan siput di seluruh dunia. Para ilmuwan yakin masih banyak lagi yang harus ditemukan, seperti tiga ikan yang ditemukan di Atacama.
"Ada sesuatu tentang ikan siput yang memungkinkan mereka beradaptasi untuk hidup di laut yang sangat dalam. Tanpa jangkauan ikan lainnya, ikan-ikan ini bebas dari pesaing dan pemangsa," kata Linley dalam pernyataannya.
Dari video yang diambil oleh tim Newcastle, Linley mengatakan, "Sudah jelas ada banyak mangsa invertebrata di sana, dan ikan siput menjadi pemangsa utama. Mereka tampak cukup aktif dan mendapat makanan dengan sangat baik."
Ketiga ikan itu, yang saat ini masih bernama Pink, Ungu, dan Biru, akan mendapat lebih banyak nama ilmiah ketika ditulis di makalah akademis.
5. Ratusan Penguin Kuno Dimumikan di Antartika
Ratusan bangkai penguin yang dimumikan ditemukan di Antartika. Ini bukanlah tanda penyakit kuno yang menyapu Benua Es tersebut, juga bukan sisa-sisa pembantaian predator yang kelaparan.
Sebaliknya, penguin-penguin ini menjadi mumi secara alami karena faktor lingkungan Antartika yang dingin dan kering. Hewan itu mati karena dua fenomena alam langka terjadi dalam satu waktu: hujan deras dan salju lebat yang melanda Antartika selama 1.000 tahun terakhir.
"Pemanasan global menyebabkan peningkatan curah hujan, yang menyebabkan tragedi ini," kata peneliti Liguang Sun, seorang profesor ilmu Bumi dari Institute of Polar Environment di University of Science and Technology of China.
Dalam ekspedisi tersebut, tim peneliti menemukan sisa-sisa "mumi penguin yang terawetkan dan kering" --banyak di antaranya yang masih kecil-- di Long Peninsula, Timur Antartika, pada tahun 2016.
Adalah sesuatu yang umum untuk menemukan bangkai penguin Adelie (Pygoscelis adeliae) di Antartika, termasuk bulu dan tulang binatang ini.
Penanggalan yang menggunakan radiokarbon mengungkapkan, penguin-penguin tersebut mati secara bertahap selama beberapa dekade dan fenomena ini terjadi dalam dua periode berbeda. Terhitung sekitar 750 dan 200 tahun yang lalu.
Setelah mempelajari sedimen yang tersimpan di sekitar mumi penguin, seperti kotoran dan sarang, para peneliti menyimpulkan bahwa iklim ekstrim yang melanda Antartika beberapa dekade lalu adalah penyebab kematian penguin ini.
Selain itu, para peneliti menemukan bukti yang menunjukkan bahwa banjir yang disebabkan oleh hujan lebat telah membawa bangkai penguin beserta sedimen di sekitarnya.
Advertisement
6. Warna Tertua di Dunia
Para ilmuwan telah menemukan apa yang mereka katakan sebagai warna tertua di dunia, yakni warna merah muda cerah.
Fakta tentang sejarah pigmen tersebut ditemukan setelah peneliti menghancurkan bebatuan berusia 1,1 miliar tahun pada serpihan deposit laut, yang ditemukan di lapisan bebatuan Gurun Sahara, di cekungan Taoudeni di Mauritania di wilayah barat Afrika.
"Tentu saja Anda mungkin mengatakan bahwa semuanya (bebatuan) memiliki beberapa warna," kata Prof Jochen Brocks, pemimpin peneliti senior dari Australian National University.
"Apa yang kami temukan adalah warna biologis tertua," lanjutnya.
Brocks membandingkannya dengan penemuan tulang T-Rex berusia 100 juta tahun.
"Itu (fosil tulang T-Rex) juga memiliki warna, namun cenderung memiliki dasar pigmen abu-abu, atau coklat. Tetapi, hal tersebut tidak akan memberi tahu Anda tentang seperti apa warna kulit yang dimiliki oleh T-Rex," sambung Prof Brocks menjelaskan.
Ia menjelaskan bahwa molekul pigmen terbaru yang ditemukan timnya tidak berasal dari makhluk besar, tetapi organisme mikroskopik yang hidup di era awal pembentukan Bumi.
Warna tertua itu, pertama kali ditemukan oleh seorang mahasiswa doktoral bernama Nur Gueneli, yang menghancurkan bebatuan fosil menjadi bubuk. Dia kemudian mengekstrak dan menganalisis molekul organisme kuno dari zat-zat kimia yang dikandungnya.
Gueneli mengatakan pigmen tersebut lebih tua setengah miliar tahun dari penemuan pigmen fosil sebelumnya.
"Pigmen merah muda yang cerah adalah fosil molekuler klorofil yang dihasilkan oleh organisme fotosintetik kuno, yang menghuni lautan purba," katanya dalam sebuah pernyataan.
Brocks mengatakan bahwa hasl temuan tersebut berkontribusi pada pemahaman tentang evolusi bentuk kehidupan di Bumi.
Sementara Bumi berusia sekitar 4,6 miliar tahun, kata Brocks, makhluk seperti hewan dan hal-hal lain yang lebih besar, seperti rumput laut misalnya, baru muncul sekitar 600 juta tahun yang lalu.
Ketika para peneliti menganalisis struktur molekul merah muda, mereka dapat menemukan cyanobacteria kecil, yang menjadi cikal bakal pigmentasi alami di era modern.
"Cyanobacteria kecil mendominasi dasar rantai makanan di lautan satu miliar tahun yang lalu, yang membantu menjelaskan mengapa hewan tidak ada pada saat itu," katanya.
Penelitian, yang juga melibatkan para ilmuwan di AS dan Jepang, telah diterbitkan dalam jurnal Proceedings of National Academy of Science, Amerika Serikat.
7. Bakteri Penghasil Listrik
Beberapa jenis bakteri yang biasa ditemukan di dalam usus manusia dapat menghasilkan listrik, menurut sebuah studi baru yang diterbitkan pada Rabu 12 September di Journal Nature.
Bakter listrik (elektrogenik) bukanlah sesuatu yang baru. Mikroba ini dapat ditemukan di sekitar tempat tinggal makhluk hidup, seperti di dasar danau, kata penulis senior Daniel Portnoy yang merupakan ahli mikrobiologi di University of California, Berkeley.
Tapi sampai sekarang, para ilmuwan tidak tahu bahwa bakteri yang ditemukan di tanaman yang membusuk atau pada mamalia, terutama hewan ternak, juga bisa menghasilkan listrik. Caranya pun jauh lebih sederhana.
Di lab, Portnoy dan timnya pertama-tama menumbuhkan kumpulan Listeria monocytogenes, sejenis bakteri yang terkadang menyebabkan infeksi listeriosis. Jenis keracunan makanan ini dianggap paling berbahaya bagi mereka yang sistem imunnya lemah, wanita hamil (dapat menyebabkan keguguran), bayi baru lahir dan orang tua, menurut Centers for Disease Control and Prevention.
Dengan menempatkan bakteri dalam ruang elektrokimia dan menangkap elektron yang dihasilkan dengan kawat atau elektroda, tim menemukan bahwa bakteri makanan ini mampu menciptakan arus listrik.
"Ada beberapa alasan mengapa beberapa bakteri menghasilkan listrik, seperti menghilangkan elektron yang dihasilkan oleh metabolisme. Tetapi tujuan utamanya adalah menciptakan energi," kata Portnoy.
Advertisement