Liputan6.com, Nairobi - Penelitian eksklusif terbaru oleh Unicef menemukan fakta bahwa banyak gadis di Kenya dipaksa jual diri untuk mendapatkan produk sanitasi, yang disebabkan situasi kemiskinan bercampur rasa malu, stigma dan salah informasi tentang menstruasi.
Disebutkan bahwa 65 persen wanita di perkampungan Kibera, yang berada di dalam ibukota Nairobi --merupakan daerah kumuh perkotaan terbesar di Afrika-- terpaksa memperdagangkan seks demi mendapat pembalut wanita.
Badan amal kemanusiaan tersebut menemukan 10 persen remaja putri di Kenya Barat, mengaku melakukan seks transaksional demi mendapat pembalut, demikian sebagaimana dikutip dari Independent.co.uk pada Senin (17/9/2018).
Penelitian tersebut juga menemukan 54 persen gadis Kenya melaporkan tantangan mengakses produk-produk manajemen kebersihan menstruasi, dan 22 persen anak perempuan usia sekolah menunjukkan mereka membeli produk sanitasi dengan upaya mandiri.
Baca Juga
Advertisement
"Di sini, ada angkutan umum yang disebut 'boda bodas', di mana para gadis setempat kerap terpaksa menginyakan 'keinginan seksual' pengemudinya, dengan imbalan diantar membeli pembalut," jelas Andrew Tevett, kepala urusan Air, Sanitasi, dan Higienitas pada Unicef di Kenya.
"Hal ini terjadi karena dua alasan. Salah satu alasan yang jelas adalah kemiskinan, di mana anak gadis dan wanita tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli produk sanitasi," lanjutnya menjelaskan.
Dijelaskan pula oleh Trevett bahwa seks transaksional untuk produk sanitasi terjadi karena barang-barang tersebut tidak tersedia di desa-desa tempat para korban tinggal.
Di pedesaan, anak gadis dihadapkan oleh sedikit armada transportasi dan ketidakmampuan dalam membayar ongkos bus. Di beberapa desa terpencil, bahkan tidak ada jalan dan tidak ada layanan bus sama sekali.
Trevett juga mencatat bahwa tabu yang mengakar kuat tentang menstruasi, membuat warga Kenya mengalami kelangkaan informasi yang tersedia untuk wanita dan anak perempuan.
Minimnya informasi tentang penanganan menstruasi adalah masalah besar di Kenya, di mana Unicef menemukan tujuh persen wanita dan anak gadis setempat bergantung pada kain lama, potongan selimut, bulu ayam, lumpur dan koran, dibandingkan pembalut.
Sebanyak 46 persen lainnya menggunakan bantalan sekali pakai dan enam persen menggunakan bantalan yang dapat digunakan kembali.
Selain itu, 76 persen wanita dan anak gadis di Kenya menghadapi tantangan dalam mendapatkan akses ke fasilitas air dan sanitasi yang memadai untuk menstruasi.
Simak video pilihan berikut:
Pembahasan Menstruasi Masih Dianggap Tabu
Hingga tahun ini, pembahasan tentang menstruasi masih dianggap tabu. Pada 2016, sebuah laporan yang didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation, menemukan bahwa hanya 50 persen gadis Kenya berani terbuka mendiskusikan siklus datang bulan di rumah.
Bahkan disebutkan bahwa satu dari satu sepuluh anak gadis Afrika sengaja membolos sekolah karena malu dengan kondisinya.
Bahkan pada tingkat paling ekstrem, banyak pula anak gadis yang benar-benar malu untuk melanjutkan sekolah ketika mendapat menstruasi pertamanya. Anggapan umum yang beredar di sekitar mereka adalah menstruasi sama dengan usia siap menikah.
Akibatnya, praktik seksual dianggap hal lumrah dilakukan kepada para anak gadis, sekalipun mereka masih jauh di bawah usia legal menikah. Hal inilah yang menjadi alasan di balik masih tingginya angka kehamilan remaja dan pernikahan dini di Kenya.
Namun demikian, Kenya telah membuat kemajuan dalam isu ini. Melalui inisiatif pemerintah, Unicef dan mitra terkait, sekitar 90.000 anak gadis di 335 sekolah kini memiliki akses ke toilet yang aman dan higienis, serta dilengkapi fasilitas sanitasi menstruasi yang higienis.
Advertisement