Liputan6.com, Jakarta - Meski termasuk negara dengan tingkat konsumsi produk asli tertinggi, Jepang ternyata tak bisa lepas dari permasalahan klasik, seperti peredaran dan pendistribusian produk entertainment bajakan alias non original.
Pembajakan marak terjadi, apalagi di bagian sirkulasi ilegal “Mangascan”, yaitu format digital hasil scanning/pemindaian dari buku komik atau manga Jepang.
Secara aspek legal, tentu itu adalah sebuah tindakan tidak benar. Bahkan, aksi ini sudah termasuk kategori kejahatan pidana.
Baca Juga
Advertisement
Namun di internet, hal-hal seperti pembajakan manga bisa dikatakan sama 'tuanya' dengan usia internet itu sendiri.
Jika dulu distribusinya terbatas melalui saluran-saluran discreet seperti chatting IRC, maka kini hasil scanning ilegal buku cetak manga (juga populer dengan istilah ‘manga scanlation’ yang merupakan paduan dari ‘scanning’ serta ‘translation’) ada di berbagai situs web serta aplikasi smartphone.
Tentu Jepang juga punya pasar komik digital legal selain buku komik cetak. Pun begitu, pasarnya terus tergerus oleh produk bajakan yang tersebar di internet.
Menurut CODA (Content Overseas Distribution Association) alias asosiasi yang mengurus soal sirkulasi konten digital Jepang di luar Jepang, mereka telah melapor ke pemerintah Jepang kalau antara bulan September 2017 hingga Februari 2018.
Diestimasi, nilai kerusakan yang disebabkan oleh pembajakan manga digital mencapai nominal tidak kurang dari 400 miliar Yen atau sekitar US$ 3,72 miliar. Jika dirupiahkan, tak kurang kurang dari 41.000 triliun.
Surat kabar nasional Jepang Mainichi Shimbun dalam laporannya pada April 2018 mengungkap, pemerintah Jepang berencana mengambil langkah keras dengan memerintahkan ISP alias penyedia jasa jaringan internet/network provider melakukan blokiran.
Tak hanya itu, pemerintah juga meminta agar ISP melakukan pendataan situs web yang menyediakan produk bacaan digital bajakan seperti manga, majalah, dan konten-konten lain secara illegal dan tanpa ijin di internet.
Masih menurut laporan Mainichi Shimbun, setidaknya pemerintah Jepang sudah menyasar tiga sumber utama penyebaran konten ilegal ini, di mana dua di antaranya beroperasi dari negara Tiongkok.
Belum Punya Dasar Hukum
Menurut laporan yang sama, tindakan pemerintah tadi belum memiliki dasar hukum yang harus dipatuhi oleh ISP (internet service provider).
Bahkan rencana tindakan ini konon akan berbenturan dengan Konstitusi Jepang, tepatnya "Article 12 of The Constitution of Japan" yang kira-kira berbunyi, “Kebebasan berkumpul, berpendapat, bermedia serta semua bentuk menyatakan ekspresi adalah dilindungi negara. Sensor dan segala bentuk larangan komunikasi tidak diperkenankan”.
Akan tetapi, pihak pemerintah konon telah menyiapkan argumen agar pihak ISP mematuhi peraturan yang akan mereka buat soal sirkulasi produk bajakan di internet, yaitu argumen kalau konten bajakan merugikan pihak pemegang hak cipta dan termasuk kategori kriminal serius.
Sehingga tindakan blokir situs web harus diizinkan untuk “mencegah kerusakan dan bahaya lebih lanjut dari tindakan kriminal dari situs web yang diblokir”.
Advertisement
Peran Konstitusi
Secara hukum pidana, konstitusi tidak boleh melindungi pelaku atau pun tindakan kriminal serius.
Saat konferensi pers pada 19 Maret 2018, Kepala Sekretaris Kabinet pemerintah Jepang, Yoshihide Suga, memastikan kalau pemerintah mempertimbangkan semua opsi demi memerangi situs manga bajakan yang ada, termasuk opsi blokir situs web. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh pemerintah Jepang.
Mungkin pemerintah Jepang perlu melirik ke pemerintah Indonesia, di mana mereka selalu pasti memakai opsi blokir untuk mengatasi semua masalah yang terjadi di jagat internet Indonesia, atau tidak?
Karenanya, edukasi pengguna internet akan hal-hal legal/ilegal di internet jauh lebih baik ketimbang sekadar blokir, yang bisa ditembus dengan mudah lewat 'jalan belakang'.
Reporter: Brilio
Sumber: Brilio.net
(Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: