Liputan6.com, Jakarta - Mesin pencari Google untuk Tiongkok, Dragonfly, dilaporkan akan bisa mengumpulkan nomor telepon pengguna. Penerapan sistem tersebut membuat pengguna yang mencari informasi "terlarang" di mesin pencari itu akan diinterogasi atau ditahan.
Dilansir Cnet, Jumat (21/9/2018), Dragonfly didesain untuk perangkat Android, tapi pengguna hanya akan disuguhkan dengan konten-konten yang disetujui Pemerintah Tiongkok.
Menurut laporan The Intercept, konten terlarang yang tidak akan muncul di Dragonfly termasuk informasi tentang demokrasi, kebebasan berbicara, dan protes.
Baca Juga
Advertisement
Sejumlah sumber mengatakan, prototype Dragonfly menghubungkan aplikasi pencariannya dengan nomor telepon pengguna. Itu artinya, pencari informasi yang dilarang bisa diinterogasi atau ditahan oleh badan keamanan negara yang memiliki rekaman pencarian tersebut.
"Ini sangat bermasalah dari sudut pandang privasi, karena bisa lebih jauh dalam rincian pelacakan dan profil perilaku orang-orang. Menghubungkan pencarian ke nomor ponsel akan mempersulit orang-orang menghindari pengawasan berlebihan pemerintah yang ada di Tiongkok," ungkap peneliti senior internet Humat Rights Watch, Cynthia Wong, kepada The Intercept.
Pengembangan Dragonfly sendiri tidak berjalan dengan lancar. Sekira seribu karyawan Google dilaporkan memprotes proyek tersebut, bahkan beberapa di antaranya disebut mengundurkan diri.
Mesin Pencari Khusus untuk Tiongkok Bikin Kesal Karyawan Google
Rencana Google merilis mesin pencari yang disensor untuk Tiongkok menimbulkan kontroversi. Para politisi, pengguna Google, bahkan sejumlah karyawan Google mengecam rencana tersebut.
Mesin pencari tersebut akan hadir dalam bentuk sebuah aplikasi khusus yang bisa digunakan di Tiongkok, tapi hasil pencarian yang dianggap bertentangan dengan regulasi setempat akan dihapus atau tidak ditampilkan.
Rencana kehadiran mesin pencari itu memicu perdebatan di kalangan internal Google. Beberapa karyawan menunjukkan kebingungan dan kemarahan mereka tentang mesin pencari tersebut. Dalam sebuah grup chat karyawan Google, seorang karyawannya mengatakan situasi tersebut sebagai "the new Maven,".
Istilah "the new Maven" merujuk pada kontroversi di dalam perusahaan beberapa waktu lalu tentang kerja sama Google dengan militer Amerika Serikat (AS).
Langkah baru Google ini berbanding terbalik dengan sikap perusahaan beberapa tahun silam. Google pada 2010 memutuskan menarik layanan pencariannya dari Tiongkok karena tidak mau menyensor hasil pencarian.
Advertisement
Mesin Pencari Khusus Tiongkok Terus Diprotes
Isu tentang rencana Google ini pun mendapat sorotan dari Senator AS untuk Florida, Marco Rubio. "Kita mempercayainya sampai ada lebih banyak bukti. Namun, membaca bagaimana Google berencana membantu Tiongkok membuat mesin pencari yang disensor, sangat mengganggu," tulis Rubio di akun Twitter resminya.
Ia menambahkan, "Mereka tidak ingin membantu Departemen Pertahanan untuk membuat kita tetap aman, tapi mereka akan membantu Tiongkok menekan kebenaran?"
Pernyataan Rubio mengacu pada pernyataan Google beberapa waktu lalu, yakni tidak akan pernah membuat alat kecerdasan buatan untuk senjata atau program yang dapat menyebabkan kerugian.
Pada awal tahun ini, seseorang di internal Google membocorkan sejumlah dokumen yang memperlihatkan perusahaan menyediakan teknologi kecerdasan buatan untuk membantu Pentagon. Teknologi itu digunakan untuk menganalisa rekamanan video dari drone, sebagai bagian dari program bernama Project Maven.
Ribuan karyawan keberatan dan menandatangani petisi, menuntut Google mengakhiri hubungan dengan Pentagon dan berjanji tidak menggunakan kecerdasan buatan sebagai senjata.
Sejumlah karyawan berhenti sebagai bentuk protes. Tekanan yang besar itu membuat Google akhirnya memutuskan untuk tidak memperbarui kontraknya dengan Pentagon.
(Din/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: