Pengamat: Kasus Sel Mewah Setya Novanto Bukti Hukum Belum Tegak

Ilman mengatakan, Kemenkumham dan KPK harus lebih tegas menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada tersangka korupsi.

oleh Yusron Fahmi diperbarui 20 Sep 2018, 21:39 WIB
Terpidana korupsi e-KTP, Setya Novanto (kanan) saat menjadi saksi sidang lanjutan dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Masagung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (18/9). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Study Club For Rar Againts Corruprion Rich Ilman Bimantika meminta aparat penegak hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kemenkumham tegas terhadap perlakuan istimewa napi koruptor, usai terungkapnya kasus sel mewah Setya Novanto di Lapas Sukamiskin.

"Apa yang terjadi di Lapas Sukamiskin sudah menjadi potret buram dan membuktikan hukum belum bisa berdiri tegak," kata Ilman, Kamis (20/9/2018)

Ilman mengatakan, Kemenkumham dan KPK harus lebih tegas menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada tersangka korupsi, termasuk di kasus Setya Novanto. Tujuannya, agar negara bisa menyita seluruh aset yang dimiliki narapidana korupsi.

"Beberapa kasus, penyitaan terhadap hasil tindak pidana korupsi itu lambat. Ada yang satu tahun sesudah berjalan masa hukuman, baru bisa diambil. Padahal, aset narapidana harus bisa segera diambil untuk mencegah masalah-masalah selanjutnya," paparnya.

Menurutnya, upaya penyitaan aset koruptor akan membuat para narapidana kasus korupsi tidak bisa berbuat banyak. Termasuk upaya untuk membeli berbagai fasilitas di dalam Lapas, seperti yang selama ini terjadi.

Namun, diakui Ilman, ada banyak hambatan yang ditemui penegak hukum ketika menerapkan pasal TPPU. Selain pembuktian yang sulit, aset narapidana yang diambil negara juga terkesan sangat lambat.

Dirinya mencontohkan bagaimana seorang narapidana kasus korupsi masih dapat membeli fasilitas yang ada di dalam Lapas. Dalam inspeksi mendadak Ombudsman, mantan Ketua DPR Setya Novanto masih menghuni sel mewah.

"Pergantian mencopot Kalapas ternyata tidak berdampak signifikan, apalagi terus membludaknya tahanan narapidana korupsi" ucapnya.


Faktor Moral

Sementara itu pengamat politik Karyono Wibowo mengatakan bahwa ada banyak penyebab masih maraknya kasus korupsi di kalangan pejabat negara. Di antaranya adalah faktor moral, tingginya biaya politik dan kebiasaan atau budaya masyarakat.

"Kalau hanya mengandalkan sistem penindakan, ujungnya malah korupsi lagi. Yang menjadi hulunya adalah pertama soal masalah moral para penyelenggara negara," kata Karyono Wibowo.

Menurutnya, antara political cost memiliki korelasi atau sangat berhubungan dengan tingginya angka korupsi di Indonesia. Banyak pejabat negara, terutama yang berlatarbelakang tokoh politik terjerat kasus korupsi.

"Mulai dari calon kepala daerah, calon legislatif butuh biaya politik untuk lolos. Bahkan, untuk menjadi ketua umum partai juga menghabiskan banyak biaya politik," ucapnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya