Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah organisasi Hak Asasi Manusia dan masyarakat sipil Indonesia, mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap Myanmar dalam meredakan krisis etnis Rohingya. Desakan ini merespons peluncuran 'operasi pembersihan' --yang oleh PBB didefinisikan sebagai genosida-- oleh tentara Myanmar terhadap masyarakat Rohingya sejak tahun lalu.
Pelaksana Desk Advokasi Internasional KontraS Fatia Maulidiyanti menegaskan, pemerintah harus berbuat lebih dari sekadar mengecam tindakan keji dan brutal yang dilakukan otoritas keamanan serta pemerintah Myanmar terhadap Rohingya.
Baca Juga
Advertisement
"Indonesia harus menggunakan pendekatan diplomatik, mengirin catatan diplomatik kepada pemerintah Myanmar mengenai situasi tersebut, dan mengundang negara-negara ASEAN lainnya untuk mengadakan pertemuan khusus dengan agenda membahas langkah-langkah strategis dan konkret dalam meredam dan mencegah keberlanjutan kejahatan terhadap kemanusiaan di Myanmar," kata Fatia di kantor KontraS, Jakarta, Kamis 20 September 2019.
Selain itu, Fatia meminta pemerintah menggunakan posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap di Dewan Keamanan PBB untuk merekomendasikan situasi di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional dan memperluas wacana critical mass agar Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB (P5) menahan diri menggunakan hak veto pada semua kasus-kasus tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang.
Dia menyebut, karena Myanmar bukan anggota International Criminal Court (ICC), satu-satunya cara untuk mengadili mereka adalah merekomendasikan situasi krisis Rohingya kepada Dewan Keamanan PBB dan segera membuat resolusi.
"Pertimbangkan untuk menerapkan tekanan lain seperti pemberlakuan embargo ekonomi," tuturnya.
Simak video pilihan berikut:
Langkah Tambahan
Kelompok itu juga menambahkan bahwa pemerintah harus memanfaatkan diplomasi langsung dengan cabang-cabang badan ASEAN lainnya untuk mendorong krisis Rohingya didiskusikan secara terbuka dan terus terang.
"Pemerintah semestinya memastikan bahwa rekomendasi yang dibuat oleh Komisi Penasihat tentang Negara Rakhine yang dikepalai oleh Kofi Annan adalah pusat dari semua masukan pada ASEAN dan Dewan Keamanan. Orang-orang Rohingya harus diizinkan untuk berpartisipasi dalam negosiasi untuk repatriasi mereka," sambung Fatia.
Fatia menginginkan, pemerintah secara tegas mendukung rekomendasi yang ditetapkan dalam laporan Misi Pencari Fakta PBB di Myanmar, khususnya terkait rujukan untuk membawa situasi krisis Rohingya ke yurisdiksi internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional.
Kemudian menciptakan mekanisme yang independen dan tidak memihak untuk mengumpulkan, mengkonsolidasi, melestarikan dan menganalisis bukti pelanggaran hukum humaniter internasional dan pelanggaran hak asasi manusia sambil menunggu keputusan dari Dewan Keamanan dan Majelis Umum.
"Selanjutnya dirikan Misi Pencari Fakta kedua untuk melanjutkan pekerjaan yang telah dilakukan selama ini," ucap dia.
Fatia berpendapat, Indonesia harus mengambil inisiatif untuk menyusun beberapa rekomendasi untuk penyelesaian konflik yang perlu dilakukan Myanmar, termasuk penanganan pengungsi Rohingya dan pengungsi internal yang sudah diabaikan di beberapa negara.
"Pemerintah dapat berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil di seluruh wilayah untuk melakukan langkah-langkah ini dan juga mengumpulkan masukan daribpara ahli, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil tentang penanganan pengungsi dan nilai-nilai hak asasi manusia," kata Fatia memungkasi.
Operasi pembebasan oleh tentara Myanmar mengakibatkan lebih dari 700.000 masyarakat Rohingya terusir dari negaranya. Berdasarkan laporan Misi Pencari Fakta PBB untuk Myanmar, setidaknya ada 319 desa telah dihancurkan oleh tentara Myanmar.
Sementara dalam laporan TPF PBB, tentara Myanmar melakukan serangan tidak pandang bulu, pembunuhan di luar proses hukum, perampasan kebebasan sewenang-wenang, pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya, kerja paksa, dan perekrutan anak-anak ke dalam angkatan bersenjata.
Organisasi yang terlibat dalam Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil ini meliputi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asia Justice and Rights (AJAR), International Forum on Indonesian Development (INFID), dan Persekutuan Gereja Gereja Indonesia (PGI).
*Reporter: Titin Supriatin, Merdeka.com
Advertisement