HEADLINE: Angka Keramat Jokowi 1 dan Prabowo 2, Boleh Beda Pilihan Asal Damai

Nomor urut pasangan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga sudah ditentukan. Kampanye pun segera dimulai. Jangan sampai perebutan takhta mengoyak damai.

oleh Luqman RimadiPutu Merta Surya PutraMuhammad Radityo PriyasmoroIka Defianti diperbarui 22 Sep 2018, 00:16 WIB
Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo Subianto berbincang saat menyaksikan pencak silat Asian Games 2018 di Jakarta, Rabu (29/8). (Liputan6.com/HO/Biro Pers Setpres)

Liputan6.com, Jakarta - Nomor urut pasangan calon yang akan berlaga di Pilpres 2019 telah ditentukan. Nomor 1 untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf dan nomor 2 untuk Prabowo-Sandiaga. 

"Pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin pada nomor urut satu. Dan, Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno pada nomor urut dua," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, Jumat malam, (21/9/2018). 

Sesuai nomor urut, Jokowi mendapat giliran pertama menyampaikan pidato. "Satu. Memang yang diperebutkan memang RI-1," kata Joko Widodo. 

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kembali mengingatkan bahwa Pilpres adalah pesta demokrasi yang seharusnya berlangsung damai. "Ini adalah kontestasi program, adu ide, adu gagasan, adu rekam jejak, adu prestasi. Jauhkan dari saling memfitnah, saling menghina, saling mencemooh, saling menjelekkan karena itu bukan etika keindonesiaan."

Jokowi menambahkan, jangan sampai silaturahmi putus gara-gara politik. "Saya masih bisa bertelepon dengan Pak Prabowo, Pak Sandi. Karena mereka adalah sahabat-sahabat saya sejak lama," kata dia. 

Suami Iriana Jokowi itu menambahkan, tak mudah untuk memajukan negara ini. Ada banyak rintangan, hambatan, perlawanan. "Namun, kita tak boleh menyerah. Hanya ada satu pilihan: Indonesia maju."

Calon Presiden RI Petahana, Joko Widodo bersama Cawapres Ma’ruf Amin menyapa pendukungnya saat berada di atas jeep menuju gedung KPU dari Tugu Proklamasi, Jakarta, Jumat (21/9). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sementara itu, dalam pidatonya, Prabowo mengaku berharap, berkeinginan, dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melaksanakan pemilu dengan damai.

"Dengan semangat kekeluargaan, untuk mencari yang terbaik bagi bangsa. Bukan mencari kesalahan atau kekurangan pihak lain," kata Ketua Umum Partai Gerindra itu. 

Ia meminta semua pihak bersikap tenang, tidak emosional, dan menahan diri dalam Pemilu maupun Pilpres 2019. "Marilah kita menyongsong demokrasi dengan baik dan tenang," tutur dia.

Bakal Calon Presiden, Prabowo Subianto melakukan gerakan hormat dari dalam mobilnya saat perjalanan menuju Gedung KPU, Jakarta, Jumat (10/8). Ketua Umum Gerindra itu berangkat ke KPU untuk mendaftarkan diri sebagai capres. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

 

Simbol Persatuan hingga Tangan Tuhan

Sesaat setelah acara pengundian nomor urut usai, ada simbol 1 di bagian kiri kemeja Jokowi. Ia mengaku bersyukur mendapat angka itu.

"Ya, Alhamdulillah, kita mendapatkan nomor urut satu. Karena kita ingin bersatu," ucap Jokowi di Gedung KPU. 

Jokowi juga mengaku nomor urut satu membuat dirinya lebih mudah menyampaikan kinerjanya selama ini . "Ini memudahkan kita berkomunikasi, dengan masyarakat," kata dia.

Sementara itu, Cawapres KH Ma'ruf Amin sejak awal memang berharap mendapatkan nomor urut satu. "Satu," ucap Ma'ruf sambil mengacungkan jari telunjuknya.

Lantas, apa arti nomor dua untuk Prabowo?

"Ya, nomor 2 lambang kemenangan," kata Prabowo. Ia mengaku bersyukur mendapatkan nomor urut tersebut.

Di tempat terpisah, anggota timses Prabowo-Sandiaga Uno, Mohamad Taufik mengaku bersyukur jagoannya mendapatkan nomor urut dua.

Menurut dia, angka dua merupakan simbol kemenangan Prabowo-Sandiaga Uno, dan partainya Gerindra.

"Ini tangan Tuhan, partainya nomor dua, capres nomor dua. Jadi dapat angka ini lebih memudahkan berkomunikasi dengan masyarakat. Jadi ini keuntungan juga buat Gerindra," kata dia.

Selain itu, Taufik juga menilai nomor dua juga memudahkan pemilih karena posisi gambar yang berada di sebelah kanan. "Dua itu kan sebelah kanan di posisi gambar kertas suara. Kalau nomor satu, satu periode, cukup," kata Taufik.

 

Infografis nomor urut Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019. (Liputan6.com/Abdillah)

Sebelumnya, di Pilpres 2014 lalu, Jokowi yang berpasangan dengan JK mendapatkan nomor urut 2, sedangkan Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa mendapatkan nomor urut satu.

Mendapat nomor dua, kubu Jokowi memanfaatkan angka tersebut sebagai jargon kampanyenya. Istilah itu pun dipopulerkan 'salam dua jari'. Bahkan, istilah itu dinyanyikan dalam sebuah lagu yang berjudul sama, yang dipopulerkan grup musik Slank.

Sementara, di kubu Prabowo, lebih menekankan yel-yel kemenangannya dalam sebuah lagu seperti lagu 'Ayo Bersama Menangkan Pasangan Prabowo-Hatta', 'Garuda di Dadaku', dan 'Mari Berjuang Bersatu Membangun Indonesia'.

Di Pilpres 2014 itu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung Gerindra-Golkar-PAN-PKS-PPP-PBB-Partai Demokrat memperoleh suara meraih 46,85 persen. Sedangkan Jokowi-JK yang usung PDIP, PKB, Partai Nasdem, Hanura dan PKPI unggul dengan perolehan suara sebesar 53,15 persen.

Usai penetapan nomor urut di Pilpres 2019, relawan Jokowi meneriakkan yel-yel 'Jokowi satu kali lagi' dan 'Jokowi siapa yang punya, yang punya nomor 1'.

Sementara, di kubu Prabowo meneriakkan yel-yel, 'Prabowo-Sandi, nomor dua menang."

Masing-masing kubu berusaha memberikan arti untuk nomor 1 atau 2 yang mewakili para jagoannya.

 

Saksikan video terkait Pilpres 2019 berikut ini: 


Angka Keramat

Pasangan capres dan cawapres Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berdoa di KPU. (Liputan6.com)

Hanya ada dua pasang calon yang berlaga dalam Pilpres 2018. Tak ada pilihan lain, kandidat hanya bisa menggunakan nomor 1 dan 2.

Meski hanya angka, ahli semiotika atau ilmu tentang tanda dan simbol mengatakan nomor urut pasangan calon tidak bisa dipandang sebelah mata.

Menurut dia, angka satu atau dua, yang menjadi nomor urut pasangan calon harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh masing-masing tim sukes pasangan calon.

"Dalam ilmu semiotika, angka itu adalah tanda yang menunjukkan sesuatu, sekarang kalau di politik, angka itu harus menciptakan makna, tim kampanye harus kreatif dalam memaknai nomor urut yang akan didapat," ujar Ahli Semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Acep Saidi kepada Liputan6.com, Jumat (21/9/2018).

Menurut dia, timses pasangan calon bisa memanfaatkan karakteristik masyarakat Indonesia yang masih percaya terhadap mitos mengenai angka keramat. Dia pun tak mempermasalahkan bila strategi itu digunakan saat kampanye.

"Harus diakui, untuk generasi old (tua), mistis antropologis, seperti angka keramat masih dipercaya. Tapi strategi seperti ini, hanya efektif digunakan di beberapa daerah saja, seperti di sebagian wilayah Jawa, tentu masih banyak yang percaya," kata dia.

Dia berharap, strategi dengan memanfaatkan nomor urut dapat menjadi senjata untuk mencegah terjadi kampanye negatif seperti isu SARA dan politik identitas yang mengatasnamakan agama atau kepercayaan.

"Angka atau simbol-simbol bisa menjadi metafora mengatasi isu SARA dan politik agama dengan membangun imajinasi kedamaian. Tentu timses bisa mengkreasikan dengan versi yang bisa diterima semua," ucap dia.

Sementara itu, pakar komunikasi politik, Hamdi Muluk menganggap, peran nomor urut di Pilpres 2019 saat ini tidak terlalu penting. Sebab, kata dia, pemilihan presiden hanya diikuti oleh dua pasangan.

"Berbeda bila pasangan calon yang ikut lebih dari tiga, misalnya empat atau lima pasangan calon, nomor urut punya peran besar dalam stategi kampanye," ucap Hamdi saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (21/9/2018).

Namun menurut dia, nomor urut bisa menjadi penting bila timses menjadikannya nomor urut sebagai objek kreativitas untuk mengampanyekan pasangan calon. Timses menurut dia bisa menjadikan angka sebagai alat untuk menarik perhatian massa dengan istilah atau simbol-simbol menarik.

"Ini tinggal bagaimana ilmu 'cocokologi' yang dimainkan. Misalnya bila petahana mendapat nomor urut 1, bisa dimaknai tetap RI-1. Kalau di nomor urut dua, maka bisa dimaknai dua periode. Jika Prabowo mendapat nomor urut satu, bisa dimaknai menjadi juara-1. Tapi kalau mendapat nomor urut dua, bisa dimaknai sebagai victory atau kemenangan," kata dia.

"Jadi, yang mana pun nomor mereka miliki tetap suatu hal positif untuk palson tersebut. Saya berkesimpulan nomor ini tidak terpengaruh," kata Guru Besar Ilmu Psikologi Universitas Indonesia itu.

Sementara itu, pakar komunikasi politik Emrus Sihombing menilai, penentuan nomor urut satu atau dua memang tidak mempengaruhi pemilih, namun akan berpengaruh jika posisi nomor urut berada dalam baris vertikal.

"Jika nomor urut dipasang mendatar maka tidak akan mengarahkan pemilih memilih nomor 1 dan 2. Sedangkan jika di posisi vertikal, ada kecenderungan orang akan memilih yang di atas daripada bawah," kata dia.

Secara psikologis, jika disusun secara vertikal maka yang mendapat nomor urut satu akan diuntungkan. Namun demikian, kata dia, kalau rakyat rasional memilih atas dasar program dan sosok, urutan vertikal tidak akan ada pengaruhnya.

"Karena mereka akan kritis melihat siapa di atas dan bawah dan melihat sosok dan program," kata dia.

Dari analisis tersebut, Emrus justru mengatakan, pemenang bukan ditentukan nomor tapi justru di program yang ditawarkan dan ketokohan dua paslon. "Kalau paslon ada tiga atau empat, maka yang diuntungkan nomor urut 3. Yang di tengah diuntungkan dengan posisi mendatar," ucap Emrus.

1 atau 2, Mana Lebih Hoki?

Ilustrasi angka (Pixabay)

Sekjen Partai Golkar Lodewijk Fredrich Paulus mengatakan, dengan hanya ada dua pasangan capres-cawapres, partai nomor urut 1 yakni PKB dan Gerindra di nomor 2 akan mendapat keuntungan elektoral.

Menurut Lodewijk, jika Jokowi mendapatkan nomor urut satu maka akan menguntungkan PKB. Namun jika, dapat nomor dua akan sama dengan nomor urut Partai Gerindra. Maksudnya?

"Memang dilematis karena Gerindra sendiri partainya nomor dua, kemudian nomor satu adalah PKB. Jadi kita bisa bayangkan kalau Gerindra mendapat nomor satu dan Pak Jokowi mendapat nomor dua," kata Lodewijk di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/9/2018).

"Ya enggak kebagian efeknya. Ya umpamanya katakan Pak Jokowi nomor satu, PKB yang mendapatkan efek nomor itu," sambungnya.

Lodewijk mengatakan Gerindra akan mendapatkan keuntungan jika pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapatkan nomor dua. Sebab, kata dia, Gerindra bisa mengkampanyekan partainya bersama dengan capres-cawapres.

"Gerinda sama lah kalau dia sekali kampanye, sekaligus pasangan calon, sekaligus untuk partai. Golkar kita tetap nomor empat," pungkas dia.

Gerindra sendiri mengakui nomor urut 2 merupakan nomor keberuntungan. "Kami beruntung partai kami dapat nomor urut 2, kalau dapat 2 juga. Karena sama (nomor) urut partai," kata Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (21/9/2018).

Riza menyebut nomor urut 2 pasangan capres-cawapres akan memberikan efek elektoral bagi Gerindra. Namun ia mengatakan nomor urut 1 atau 2 sama baiknya. "Nomor 1 dan 2 itu baik," sebut Riza.

Dia membayangkan, seandainya Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapat nomor urut 2. Menurut Riza, Gerindra tetap akan diuntungkan.

"Gerindra diuntungkan. Jadi Pak Jokowi kampanye untuk Partai Gerindra," ucap dia

Sementara itu anggota Tim Kampanye Nasional Jokowi Ma'ruf, Ahmad Baidowi mengatakan pihak nya tidak mempermasalahkan nomor urut berapa saja yang diterima pasangan Jokowi-Ma'ruf.

Yang terpenting kata Baidowi, bagaimana kinerja dan strategi yang digunakan dapat mengantar Jokowi-Ma'ruf menjadi pemenang.

"Nomor berapa pun enggak masalah. Toh nomor nomor 1 belum tentu menang, nomor dua juga belum tentu menang. Yang penting kinerja nya dan bukti Jokowi-Ma'ruf yang paling tepat," kata Baidowi kepada Liputan6.com.


Jangan Pakai Cara Kotor

Pasangan capres dan cawapres Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di KPU. (Liputan6.com)

Sejarah perebutan takhta dan kuasa kerap diwarnai taktik dan intrik. Idealnya, para kubu yang berlawanan menjual program -- bukan mengumbar kelemahan lawan -- untuk menarik simpati para pemilih. Namun, para praktiknya, segala cara dilakukan. Kotor sekalipun. 

Untuk Pilpres 2019, persaingan merebut simpati calon pemilih akan dilakukan secara terang-terangan pada Minggu 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Kedua kubu pasangan calon akan menggelar kampanye terbuka, tak hanya perang retorika di media massa atau dunia maya. 

Sebenarnya, rambu-rambu kampaye telah tegas digariskan dalam Pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Pemilu.

Para pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu lain. Ayat lain juga melarang peserta menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat serta mengganggu ketertiban umum.

Kedua kubu, Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga akan mendatangani deklarasi damai. Namun, kesepakatan antar pucuk elite belum tentu diikuti para bawahannya. Ketegangan diramalkan masih akan terjadi. 

Direktur Ekskutif Perludem, Titi Anggraini berharap, kedua pasangan kandidat presiden wakil presiden mengingatkan tim suksesnya agar menghindari cara-cara kotor dalam berkampanye, seperti memainkan isu SARA dan politik identitas.

"Isu SARA masih tetap mungkin digunakan di tengah kompetisi yang sangat ketat dan kompetitif, dan akan semakin memburuk kalau para tim sukses atau tim kampanye tidak melakukan langkah langkah yang konkret untuk mencegah itu," ucap Titi kepada Liputan6.com, Jumat (21/9/2018).

Menurut dia, isu SARA dan politik identitas akan semakin memburuk bila timses dari masing-masing pasangan calon tidak melakukan langkah nyata mencegah terjadinya hal itu.

Apalagi, dua calon presiden, Jokowi dan Prabowo kerap menjadi sasaran isu SARA, terutama di jagat maya. 

"Sangat mungkin terulang karena situasi kompetisi kita kan terpolarisasi hanya dua pilihan belum apa apa isu lama sudah digunakan, contoh isu ulama," kata dia.

Khusus untuk beberapa daerah, Titi mengingatkan bahwa ada tingkat kerawanan cukup tinggi dalam penyebaran isu SARA dan politik identitas.

Dia menyebut beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat diprediksi menjadi daerah yang rentan terhadap penyebaran isu negatif tersebut. 

"Ini berkaca pada hasil pilkada sebelumnya. Di daerah-daerah itu, sentimen agama atau suku masih terjadi. Bila masing-masing timses tidak memberi warning, ini bisa kembali terulang di Pilpres 2019," ucap dia. 

Dia pun mengkiritk adanya sejumlah wilayah yang kepala daerah telah mendeklarasikan dukungan untuk paslon tertentu. Titi menilai, adanya dukungan itu justru berdampak negatif.  

Janji Hindari Isu SARA 

Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Prabowo Subianto memeluk atlet pencak silat peraih emas Asian Games 2018 Hanifan Yudani di Jakarta, Rabu (29/8). (Liputan6.com/HO/Biro Pers Setpres)

Anggota Badan Komunikasi DPP Gerindra Andre Rosiade menegaskan, pihaknya menghindari isu SARA di Pilpres atau Pileg 2019. Hal itu telah ditegaskan oleh ketua umumnya, Prabowo Subianto. 

"Pak Prabowo tidak pernah bicara SARA. Itu disampaikan berkali-kali, agar tidak ada politik identitas dan isu SARA dalam kampanye atau kegiatan pemenangan," ucap Andre saat dihubungi Liputan6.com

Terkait dengan munculnya sentimen SARA di balik sejumlah kampanye pogram kemandirian ekonomi yang digaungkan Prabowo, Andre menegaskan hal tersebut tidak akan terjadi.

"Kemandirian ekonomi itu memanfaarkan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, tanpa perlu kita anti-China atau anti-asing. Ekonomi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia itu butuh perubahan," kata Andre.

Ia menambahkan, pihaknya telah menggerakkan semua badan pemenangan di daerah untuk menyambut kampanye hari pertama.

"Gebrakan kami langsung sosialisasi ke masyarakat soal rencana program-program Pak Prabowo," kata Andre

Andre mengatakan koalisi pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga sudah menyiapkan tim yang dinamakan badan pemenangan nasional.

Badan tersebut diisi 800–1.000 orang dari unsur partai, pakar, hingga tokoh masyarakat. Badan pemenangan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga telah dibentuk untuk menguatkan kampanye yang dimulai minggu nanti.

Andre menambahkan, kampanye dari pasangan Prabowo-Sandiaga difokuskan pada isu ekonomi. Program-program penciptaan lapangan pekerjaan dan pembangunan ekonomi bakal menjadi isu pokok mereka sejak hari pertama kampanye. Itu dikuatkan dengan strategi menggaet sekitar 40 pakar bidang ekonomi. "Kami fokuskan Pak Prabowo hadir untuk menumbuhkan ekonomi," kata dia.

Sementara itu, sebagai calon petahana, Jokowi meminta masyarakat Indonesia agar tetap bersatu meski beda pilihan politik di Pilpres 2019.

"Ini pesta demokrasi, proses demokrasi yang memang sudah menjadi amanat undang-undang. Yang paling penting jangan sampai karena pesta demokrasi ini, masyarakat menjadi kelihatan terbelah atau antarkampung tidak saling sapa, antarteman menjadi tidak rukun kembali, dan kita tidak terasa sebagai saudara sebangsa dan setanah air," Jokowi mengingatkan.

"Mau milih siapa silakan, karena memang ini pesta demokrasi. Beda pilihan juga tidak apa-apa tapi kerukunan, persatuan, persaudaraaan sebagai saudara sebangsa setanah air jangan sampai dilupakan, saya kira itu," tegas Jokowi.

Jokowi sendiri mengaku akan terus bekerja sebagai kepala negara saat masa kampanye nanti.

"Persiapan saya kerja saja. Kerja saja," ujar Jokowi di kawasan Setia Budi Tengah, Jakarta Selatan, Jumat (21/9/2018).

Di kubu Jokowi, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Koalisi Indonesia Kerja, Eriko Sotarduga, mengatakan kampanye hari pertama tak langsung menyuarakan program pasangan Jokowi-Ma’ruf.

Kampanye pertama akan diarahkan pada kampanye damai dengan mengajak semua lapisan masyarakat dan relawan.

"Kami ingin kampanye damai yang Bhinneka Tunggal Ika, dengan menunjukkan budaya di setiap daerah," kata dia.

Meski begitu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Lodewijk F. Paulus, mengatakan dalam kampanye nanti tim akan mengangkat keberhasilan pemerintahan Jokowi periode pertama dan program Nawacita kedua menuju Indonesia sejahtera pada 2045.

Dalam kampanye, kata dia, kepala daerah yang telah menyatakan dukungan juga akan dilibatkan.

"Tentu disinergikan supaya komponen dalam pembangunan nasional bergerak seirama untuk Indonesia sejahtera," kata dia.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya