Liputan6.com, San Marino - Mohammed edh-Dhib sedang mencari kambingnya yang kabur di kawasan situs kuno Khirbet Qumran di Tepi Barat, yang berjarak 2 kilometer dari tepian Laut Mati, saat langkahnya berhenti di pintu gua yang gulita.
Penasaran, pegembala itu melemparkan sebuah batu. Dia ingin tahu seberapa dalamnya. Namun, pemuda Palestina kaget bukan kepalang saat mendengar batunya menghantam sesuatu yang bunyinya mirip tembikar pecah.
Advertisement
Bersama dua sepupunya, edh-Dhib memasuki liang itu. Mereka menemukan pot tanah liat yang tak lagi utuh. Di dalamnya, ada tiga gulung naskah kuno. Temuan tersebut mereka bawa pulang. Namun, tak ada yang tahu apa yang harus dilakukan.
Apa yang didapat Mohammed edh-Dhib dari Qumran pada 1947 ternyata temuan pertama Dead Sea Scrolls atau naskah Gulungan Laut Mati, harta karun terbesar di bidang arkeologi dari Abad ke-20.
Belakangan terkuak, ada sekitar 930 manuskrip dalam Bahasa Ibrani, Kanaan Tua (Old Canaanite), Aramaik, Yunani, dan Latin yang ditemukan di sejumlah gua di Qumran pada 1947 hingga 1956. Naskah-naskah tersebut ditulis dalam papirus, perkamen atau lembaran kulit binatang, hingga lempeng tembaga.
Penanggalan naskah Gulungan Laut Mati berasal dari paruh kedua periode Bait Suci Yerusalem Kedua, yang berlangsung sejak sekitar 530 SM sampai 68 M.
Seperti dikutip dari www.historychannel.com.au, isinya menawarkan wawasan ke sejarah Yudaisme. Siapa penulisnya masih misterius, namun, diperkirakan teks-teks kuno itu ditulis oleh sekte Yahudi kuno yang disebut Essenes.
Sejak kali pertamanya ditemukan, Dead Sea Scrolls atau naskah Gulungan Laut Mati memicu sejumlah kontroversi, sensasi, juga teori konspirasi.
Salah satunya dipicu kerahasiaan terkait riset Gulungan Laut Mati. Hingga akhirnya, pada 22 September 1991, sebuah perpustakaan besar di California, memamerkan foto-foto dokumen tersebut dan menyediakannya tanpa batas ke semua peneliti.
Dr William A. Moffett, Direktur Huntington Library di San Marino, mengungkapkan, keputusan pihaknya akan mengakhiri monopoli terkait naskah langka tersebut.
"Langkah ini akan memberikan keterbukaan yang belum pernah terjadi sebelumnya terkait penelitian naskah tersebut," kata Moffett, seperti dikutip dari The New York Times. "Akan sulit bagi para kartel yang mengendalikan gulungan untuk 'memasukkan kembali jin ke dalam botol'."
Di sisi lain, pihak yang memegang dokumen itu bersikukuh, materi Dead Sea Scrolls terbuka bagi para ahli terkemuka. Sementara, materi yang belum dibuka terdiri dari fragmen-fragmen teks yang belum disatukan.
Mereka beralasan, tidak ingin itu jatuh ke tangan para peneliti yang tidak kompeten.
Sebelumnya, para editor yang menjadi pemegang dokumen tersebut dituduh sengaja menunda publikasi dan menahan manuskrip itu dari para peneliti lain -- kecuali murid mereka sendiri atau kolega dekat.
Dr. Geza Vermes, seorang sarjana Alkitab di Oxford University berpendapat, penanganan naskah tersebut sebagai, "skandal akademis yang luar biasa pada Abad ke-20."
Sementara, Dr. James H. Charlesworth, dosen bahasa dan sastra Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary di New Jersey berpendapat, keterbukaan terkait naskah Gulungan Laut Mati akan menyingkirkan banyak teori konspirasi yang menyebut, mereka yang menguasai manuskrip, sengaja menahan dokumen-dokumen yang konon akan mendeskriditkan agama Yahudi dan Nasrani.
Kapal Nabi Nuh Berbentuk Piramida?
Sejumlah manuskrip Gulungan Laut Mati diselidiki di laboratorium khusus yang didirikan Israel Antiquities Authority sebagai bagian dari Leon Levy Dead Sea Scrolls Digital Library.
Sejumlah yang ditemukan memancing interpretasi beragam. Salah satunya adalah manuskrip berusia 2.000 tahun yang mengindikasikan bahwa bahtera Nabi Nuh mungkin bentuknya tak seperti yang dikira.
Seperti dikutip dari Haaretz, berkat citra resolusi tinggi, sebuah kata yang mengikuti frasa "ketinggian bahtera" sebelumnya tidak dapat terbaca. Hasil pemindaian baru menunjukkan bahwa kata-kata yang benar adalah ne'esefet, yang berarti "berkumpul," yang menurut peneliti Dr. Alexey Yuditsky, berarti bahwa tiang bahtera berkumpul di bagian atas -- berbentuk piramida.
Dr. Yuditsky mengatakan bahwa septuaginta (septuagint), terjemahan Yunani dari Alkitab yang berasal dari Abad ke-3 SM, menggunakan kata kerja dengan arti yang sama untuk menggambarkan bahtera.
Selain itu, penulis Abad Pertengahan seperti Maimonides menyarankan bahwa atap bahtera Nabi Nuh berbentuk lancip.
Pada Januari 2018, periset dari University of Haifa, Isrel, mengklaim telah berhasil menggabungkan satu dari dua manuskrip Dead Sea Scroll atau Gulungan Laut Mati yang belum terpecahkan.
Eshbal Ratson dan Jonathan Ben-Dov dari departemen Studi Alkitab (Bible Studies) University of Haifa menemukan semua potongan itu saling melengkapi satu sama lain.
Keduanya mulai memeriksa seluruh fragmen hampir setahun yang lalu, kata Yavelberg.
"Mereka menggabungkan keseluruhan potongan dan menyatakan bahwa semuanya berasal dari satu gulungan," ungkapnya kepada BBC, dilansir New York Post, Senin (22/1/2018).
Ia menambahkan, beberapa di antaranya berukuran kurang dari 0,155 inci persegi.
Menurut University of Haifa, temuan ini membuka wawasan baru mengenai penghitungan kalender sekte Qumran -- 364 hari.
Kalender ini berbanding terbalik dengan kalender lunar yang digunakan dalam praktik keagamaan Yahudi zaman sekarang.
Selain dibukanya naskah Gulungan Laut Mati secara versi digital, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada 22 September.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement