Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah hingga akhir Agustus 2018 berjumlah Rp 4.363 trilliun. Dengan demikian rasio utang Indonesia sampai Agustus tembus sekitar 30,31 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan, utang pemerintah mengalami kenaikan salah satunya dikarenakan faktor eksternal seperti pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing lainnya terutama dolar AS.
Baca Juga
Advertisement
"Hal ini mempengaruhi besaran total outstanding utang untuk bulan Agustus ini," ujar Luky di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Secara mendetail, total posisi utang untuk SBN berdenominasi rupiah lebih besar dibandingkan dengan SBN yang berdenominasi valuta asing.
Dengan demikian, risiko fluktuasi nilai rupiah terhadap posisi utang Pemerintah dapat diminimalkan. Komposisi SBN sampai dengan akhir Agustus 2018 mencapai 81,18 persen, lebih besar jika dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 80,71 persen dari total outstanding.
Berdasarkan sumber SBN, komposisi utang SBN dalam valuta asing naik ke angka 23,84 persen terhadap total utang dari sebelumnya sebesar 22 persen terhadap total utang.
"Kenaikan tersebut sejalan dengan strategi pemerintah untuk melakukan pendalaman pasar obligasi, mengingat posisi Indonesia yang sudah naik kelas menjadi middle income country yang tidak berhak lagi memperoleh pinjaman lunak (konsesional)," jelasnya.
Di sisi lain, SBSN (Sukuk) juga mengalami kenaikan karena semakin banyaknya Kementerian/ Lembaga yang melihat potensi dan menggunakan Sukuk Negara sebagai salah satu sumber pembiayaan proyek dari Kementerian/Lembaga. Hal ini mendorong peningkatan jumlah SBSN secara signifikan.
Selain faktor eksternal, pertumbuhan utang pemerintah juga disebabkan oleh dijalankannya strategi front loading. Strategi front loading merupakan strategi yang dilakukan pemerintah dengan menarik pembiayaan di awal pada saat suku bunga di pasar masih rendah sebelum kenaikan suku bunga Bank Sentral AS.