Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji pengenaan beban pajak untuk instrumen investasi seperti obligasi. Kajian tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan porsi pasar domestik dalam pembiayaan pemerintah.
"Ini yang sedang dikaji dan dievaluasi termasuk soal tarif yang beragam. Kita mau lihat dulu satu per satu dan apa kepentingannya," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Kajian ini secara menyeluruh akan dilakukan terhadap PPh Final untuk instrumen investasi di dalam negeri. Sebab, selama ini pengenaan pajak untuk investasi bervariasi mulai dari deposito hingga obligasi pemerintah.
Baca Juga
Advertisement
"Pembicaraannya sudah agak lama ada kajian kita badingkan pro kontra serta advice dari berbagai macam segi apakah yang namanya pajak suku bunga obligasi saat ini yang di passthrough ke yield suku bunga obligasi kita," ujar dia.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pengkajian pajak ini dapat memperkaya sumber pembiayaan-pembiayaan yang berasal dari dalam negeri. Sebab selama ini gap antara tabungan dan investasi masih cukup tinggi.
"Yang paling fundamental dari pendalaman pasar ialah supply dari funding nya di dalam negeri," kata Sri Mulyani.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Obligasi Jangka Pendek Jadi Pilihan Investor saat Rupiah Bergejolak
Sebelumnya, gejolak yang terjadi pada nilai tukar rupiah akibat sentimen global berpengaruh khusus pada sektor investasi. Investor kini dinilai lebih tertarik pada surat utang (obligasi) berjangka pendek.
Executive Vice President Intermediary Business PT Schroder Investment Management Indonesia Renny Raharja mengatakan, obligasi jangka pendek kini berpotensi menjadi pilihan.
"Karena tekanan rupiah belum mereda, investor lebih menginginkan imbal hasil (yield) yang lebih besar. Jadi obligasi jangka pendek bisa jadi pilihan," tutur dia di Jakarta, Kamis 5 Juli 2018.
Imbal hasil obligasi di Indonesia saat ini untuk jangka waktu 10 tahun sebesar 7,8 persen. Sementara itu, untuk imbal hasil obligasi bertenor setahun sebesar 7,4 persen.
"Mereka ingin yield lebih tinggi karena memperhitungkan aspek dari rupiah ini nantinya kepada total return yang mereka harapkan. Mereka minta lebih tinggi karena tekanan rupiah yang akan berdampak pada imbal hasil mereka," ujarnya.
Renny menambahkan hal ini seperti terlihat dari dana kelola oleh perusahaan. Hingga akhir Juni 2018, perseroan mencatatkan dana kelola sebesar Rp 83,2 triliun.
"Ini tercermin dari reksa dana yang dikelola Schroders Indonesia. Per akhir Juni 2018 Schroders Indonesia memiliki dana kelolaan sekitar Rp 83,2 triliun. Reksa dana yang menjaring paling banyak dana kelolaan adalah reksa dana campuran dan obligasi jangka pendek," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement