Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak menguat selama sepekan. Hal tersebut didorong dari sentimen nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, IHSG menguat 0,4 persen dari posisi 5.931 pada 14 September 2018 menjadi 5.957 pada perdagangan Jumat 21 September 2018.
IHSG melonjak didorong saham-saham berkapitalisasi besar masuk indeks LQ45 dan saham kapitalisasi kecil mendaki 1,79 persen. Investor asing juga beli saham sebesar USD 11 juta atau sekitar Rp 1,48 triliun (asumsi kurs Rp 14.844 per dolar AS).
Baca Juga
Advertisement
Di pasar obligasi, indeks obligasi menguat 0,52 persen. Imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10 tahun menjadi 8,1 persen. Nilai tukar rupiah cenderung berada di posisi 14.817 per dolar AS. Investor asing beli obligasi sekitar USD 254 juta hingga perdagangan Rabu.
Ada sejumlah sentimen pengaruhi pasar keuangan termasuk IHSG antara lain perkembangan terbaru perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif impor barang China sebesar 10 persen untuk barang senilai USD 200 miliar. Tarif itu berlaku mulai 24 September 2018. Kemudian tarif tersebut menguat menjadi 25 persen mulai 1 Januari 2019. Jadi korporasi masih memiliki kesempatan untuk menyesuaian jaringan persediannya.
China pun membalas langkah pemerintah dengan mengenakan tarif untuk barang impor senilai USD 60 miliar terutama dari AS. Hal itu menambah ketegangan perang dagang. Sedangkan pada fase ketiga diperkirakan, tarif barang impor akan dikenakan mencapai USD 267 miliar.
Sentimen lainnya yaitu China memangkas tarif impor dengan mitra strategis. China mengurangi tingkat tarif rata-rata impor dari sebagian besar mitra dagangnya pada Oktober.
Dengan pangkas pajak impor, China mengirim sinyal kalau akan terus membuka dan reformasi di tengah perang dagang yang berlangsung.
Ini lebih kepada komitmen untuk pelaku domestik dan internasional. Pada Juli, China memangkas tarif impor pada hampir 1.500 produk konsumen mulai dari kosmetik hingga peralatan rumah tangga. Ini sebagai bagian upaya untuk membuka ekonominya. Tarif rata-rata negara pada saat ini mencapai 9,8 persen.
Selanjutnya
Dari Amerika Serikat (AS), imbal hasil surat berharga AS mencapai 3,04 persen. Level itu tertinggi sejak Mei 2018. Penjualan obligasi meningkat usai pemerintahan Trump memberlakukan pajak 10 persen untuk barang impor China senilai USD 200 miliar.
Berdasarkan data the Federal Reserve atau bank sentral AS, kepemilikan China di surat utang AS turun ke level terendah dalam enam bulan mencapai USD 1,17 triliun pada Juli.
Adapun Korea Selatan dan Utara memulai pembicaraan juga menjadi sorotan. Pemimpin negara kedua negara tersebut menandatangani deklarasi usai setuju semenanjung Korea harus berubah menjadi tanah damai tanpa senjata nuklir dan ancaman nuklir.
Perkembangan positif itu dapat menjadi katalis positif meski ada ketegangan global terbaru yang didorong perang dagang AS-China.
Pertemuan OPEC juga jadi perhatian. OPEC dan mitranya akan bertemu di Aljazair untuk membahas langkah-langkah kebijakan produksi untuk mengimbangi potensi kerugian dari sanksi AS kepada Iran.
OPEC, Rusia dan sembilan mitra lainnya non OPEC pada 23 Juni sepakat untuk meningkatkan produksi sebesar 1 juta barel per hari.
Akan tetapi, OPEC, Rusia menjadi khawatir untuk meningkatkan produksinya. Pada pertemuan KTT Aljazair akan bicarakan masalah tersebut.
Dari dalam negeri, rilis data ekonomi neraca perdagangan Indonesia masih alami defisit. Pada Agustus 2018, defisit neraca perdagangan tercatat USD 1 miliar.
Angka ini di atas perkiraan pasar yang mencapai USD 674 juta.Meski lebih buruk dari yang diperkirakan, defisit tersebut didorong ekspor dan impor tinggi. Sepanjang tahun berjalan defisit mencapai USD 3,1 miliar.
Advertisement
Hal yang Dicermati ke Depan?
Lalu hal apa yang perlu dicermati ke depan?
Mendekati akhir kuartal III, Ashmore mencermati perkembangan pasar selama tiga bulan terakhir. Ashmore yakin meski perang dagang meningkat, pasar tampaknya bergerak lebih tangguh seperti yang terlihat pada indeks saham global. Selain itu, indeks volatilitas lebih rendah dan mata uang negara berkembang lebih kuat.
Apa indikator kunci dari pasar yang lebih tenang?
Ashmore melihat indeks volatilitas turun lebih dari 50 persen sejak awal perang dagang pada Maret 2018. Indeks volatilitas dari 24,9 menjadi 12,1. Hal itu dipengaruhi tarif barang impor terbaru, meningkatnya kekhawatiran di pasar negara berkembang dan pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral negara maju.
Ashmore juga melihat pasar negara berkembang menarik seiring volalitilitas mata uang terhadap negara G7 hanya mencapai puncaknya pada 2008. Biasanya lonjakan volatilitas tidak bertahan lama.
Faktor lainnya yaitu penyebab volalititas tersebut. Banyak situasi spesifik negara yang mungkin tidak memiliki kaitan jelas dengan negara berkembang lainnya termasuk Indonesia.
Apakah valuasi saham Indonesia menarik? Ashmore melihat sebagian besar tekanan yang terjadi didorong sentimen ketimbang faktor fundamental. Pihaknya yakin sentimen risiko akan menghilang. Nilai pasar saham dan obligasi akan kembali pada nilai yang sesungguhnya.
"Meski kinerja masa lalu tidak selalu merupakan panduan yang baik untuk ke depan. Tiga episode terbaruk ketika valuasi saham Indonesia turun tajam hingga rata-rata 10 persen dikaitkan dengan kenaikan IHSG dan berkinerja baik di wilayah ini," dikutip dari laporan Ashmore.
Saksikan video pilihan di bawah ini: