Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Budi Waseso (Buwas) dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita angkat bicara mengenai kebijakan beras.
Bulog menilai Pemerintah seharusnya tidak harus impor mengingat gudang-gudang Bulog saat ini penuh akan stok beras. Bahkan Bulog sampai harus menyewa gudang milik TNI karena kelebihan stok.
Hal ini dianggap Mendag bukan urusannya dan dia berhak untuk mengeluarkan izin kuota impor beras dengan berbagai pertimbangan.
Baca Juga
Advertisement
Menanggapi hal ini, anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin menilai sebenarnya akar permasalahannya adalah soal data. Dia mengusulkan pemerintah seharusnya berpegang pada data produksi pangan Badan Pusat Statistik (BPS), bukan data Kementerian Pertanian (Kementan). Karena data Kementan bersifat interal.
"Yang harusnya jadi pegangan data produksi pangan harusnya data BPS, bukan data Kementan. Karena itu hanya data internal, sehingga kurang tepat kalau Pak Darmin mengkambinghitamkan data Kementan," kata Andi, Sabtu (22/9/2018).
Dia menuturkan, dalam hal pengambilan kebijakan, Pemerintah seharusnya berpegang pada Data BPS. Jika pemerintah membutuhkan data pembanding, baru bisa menggunakan data stok Bulog.
Karena stok beras ada di gudang-gudang Bulog. Andi menambahkan, persoalannya kemudian adalah, sejak tahun 2016 pemerintah tidak lagi memiliki data pangan resmi. Sejak itu BPS tidak mengeluarkan data produksi beras, melainkan hanya data ekspor dan impor beras.
Namun saat ini, atas permintaan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), BPS tengah menyiapkan metode penelitian yang baru, terkait data pangan BPS yang selama ini dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
"Untuk sementara BPS tidak merilis data pangan. Menunggu hasil metode baru untuk pengukuran luas panen komoditas padi," tambah Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Habibullah.
Menurut kabar, BPS akan merilis data pangan dengan metode baru pada Oktober 2018. Molor dari rencana sebelumnya pada Agustus lalu. Data itu menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA), bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). (yas)
Kronologi Impor Beras versi Menko Darmin
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan alasan pemerintah memberikan izin impor beras kepada Perum Bulog. Izin impor tersebut diperlukan mengingat ketersediaan stok beras pada tahun lalu berada di bawah batas aman.
"Yang pertama, tahun 2017 itu di kuartal tiga harga mulai naik. Dan kita sebetulnya sudah intens sekali rapat, tapi waktu itu stok Bulog itu berada pada 978.000 ton. Banyak enggak itu? Enggak. Karena normalnya kita itu stok 2 juta ton. Kalau 3 juta bagus," ungkap Darmin di Kantornya, Jakarta, Rabu 19 September 2018.
Dia mengatakan, pertimbangan pemerintah dalam memberikan izin impor pada saat itu justru menuai berbagai anggapan miring. Karena itu, dirinya memutuskan untuk menggelar rapat koordinasi (rakor) bersama kementerian/lembaga terkait lainnya untuk memastikan ketersediaan cadangan beras yang ada.
"Tapi karena masih berdebat terus, berlarutlah sampai kita rapat berikutnya itu 15 Januari (2018). Waktu itu kita cek yang tadinya stok itu 978.000 ton, itu tinggal 903.000 ton. Berarti dalam 10 hari berkurang 75 ribu ton. Kenapa? Karena harus operasi pasar karena harga naik," kata Menko Darmin.
Dia mengungkapkan, harga beras medium pada saat itu telah mencapai Rp 11.300 per liter. Padahal, Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras jenis premium yang dipatok pemerintah hanya sebesar Rp 9.450 per liter.
"Jadi udah jauh di atas, sehingga itu masih 15 Januari artinya panen masih Maret. Panen raya itu biasanya Maret bisa-bisa April," tutur dia.
Melihat jumlah ketersediaan stok beras yang telah menipis, pemerintah memutuskan untuk memberikan izin impor beras tahap pertama sebanyak 500 ribu ton.
"Kita enggak akan kuat. Jangan mengira 903 ribu ton itu banyak. Artinya 903 ribu ton itu lebih sedikit dari 10 hari. Jadi (kita) impor 500 ribu ton," kata Menko Darmin.
Namun demikian, dia menyayangkan, impor 500 ribu ton yang diperkirakan bakal masuk pada akhir Febuari 2018 itu, nyatanya tidak kunjung datang. Sebab, negara asal yang menjadi tujuan Indonesia untuk mengimpor beras tersebut juga belum mengalami masa panen.
"Kenapa enggak masuk? karena untuk mereka, yang pertama mereka juga panennya Maret," imbuh dia.
Sehingga, pada waktu itu pemerintah kembali memberikan izin impor kembali pada Maret sebanyak 500.000 ton. Izin itu kembali dikeluarkan, mengingat cadangan beras yang semakin berkurang, yakni hanya mencapai 590 ribu ton saja.
"Kita rapat 19 Maret. Stok kita 590 ribu ton harga Rp 11.044 per liter, turun sedikit karena operasi pasar jalan terus. Tetapi pada waktu 15 Januari, karena katanya 13,7 juta ton produksi 3 bulan, kita kemudian memutuskan Bulog harus bisa serap 2,2 juta ton paling lambat akhir Juni. Artinya panen raya lewat, dengan harapan 2,2 juta ton itu akhir tahun kita pengadaan Bulog mendekati bisa 3 juta. Sehingga waktu itu kan kita putuskan 500 ribu ton kan di 15 Januari," paparnya.
Kemudian, pada 28 Maret 2018, pemerintah kembali menggelar rakor lanjutan dengan sejumlah kementerian terkait. Rakor itu untuk memastikan dan mempertimbangkan berapa banyak serapan produksi gabah yang bisa dikonversikan menjadi beras.
"Nah kita pada 28 Maret rapat lagi, karena panen raya mestinya udah mau habis waktunya. Panen raya Maret kan. Dia bilang produksinya 6,5 juta ton Maret. Itu proyeksi. 28 Maret memang stoknya sedikit naik menjadi 649.000 ton. Tapi ya enggak ada apa-apanya udah. Itu panen raya mau habis, siapa yang percaya bahwa ini akan beres-beres aja, baik-baik aja ke depannya?" kata Menko Darmin
"Sehingga kita putuskan impor 1 juta ton, harga waktu itu Rp 11.036, medium loh ini. Berarti impornya berapa? 2 juta ton. Nah Itu dia yang soal impor," dia menambahkan.
Secara keseluruhan, pemerintah telah mengeluarkan izin impor sebanyak tiga kali. Pada januari sebesar 500 ribu ton dan 500 ribu ton lagi pada Maret. Kemudian fase berikutnya pada April 1 juta ton.
Namun, data terakhir yang diterima Kementerian Perekonomian pada Agustus lalu stok beras di Bulog sudah mencapai 2,2 juta ton. Jumlah tersebut sudah termasuk beras impor yang masuk.
"Rapat terakhir itu antara minggu ketiga atau keempat bulan Agustus. Itu stok Bulog 2,2 juta ton, tapi itu sudah termasuk impor. Impor belum masuk semua, baru 1,4 juta ton yang masuk. Sebelum itu 1,188 juta ton, berarti pengadaan dalam negerinya 400 ribu ton. Tapi, karena itu sudah bulan Agustus, kami anggap 2,2 juta ton masih akan nambah sedikit dari pengadaan dalam negeri. Dan katanya sekarang bisa mendekati 2,4 juta ton. Berarti naik sedikit, sampai akhir tahun bisa 3 juta ton. Maka, kami tidak menambah impor," ucap Menko Darmin.
Dari total izin impor sebanyak 2 juta ton yang diberikan pememerintah, tercatat beras impor yang masuk baru sebesar 1,4 juta ton. Artinya, masih ada 600 ribu ton lagi yang belum masuk. Sementara pemerintah sendiri menargetkan hingga Juli 2018 harusnya impor beras sudah tiba sebanyak 1,8 juta ton.
"Dari 2 juta ton itu, 200 ribu ton gagal. Harusnya 1,8 juta ton sudah sampai akhir Juli. Tapi, sampai minggu ketiga Agustus masih belum masuk 400 ribu ton kira-kira," pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), Budi Waseso, menyebutkan cadangan beras pemerintah aman sampai Juni 2019. Oleh karena itu, Indonesia tidak perlu melakukan impor beras.
Buwas menyebut saat ini cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,4 juta ton. Jumlah tersebut belum termasuk dengan beras impor yang akan masuk pada Oktober sebesar 400 ribu ton sehingga total cadangannya menjadi 2,8 juta ton.
"Tim mengatakan rekomendasi sampai Juni 2019, tidak perlu impor. Bahkan dimungkinkan beras cadangan impor dari Bulog tidak akan keluar. Tinggal menjaga, masa kita harus bertahan pada impor?" kata Budi Waseso atau yang akrab disapa Buwas.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement