Panglima Militer Myanmar: Dunia Tak Berhak Ikut Campur Soal Krisis Rohingya

Panglima militer Myanmar menyebut PBB dan dunia tak berhak ikut campur dalam urusan seputar krisis kemanusiaan muslim Rohingya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Sep 2018, 08:01 WIB
Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing (AP PHOTO)

Liputan6.com, Naypydaw - Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw), Jenderal Min Aung Hlaing, menjelaskan bahwa PBB dan dunia tak berhak untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri Burma, termasuk, perihal bagaimana negara tersebut bertindak seputar krisis kemanusiaan yang menimpa kelompok etnis minoritas muslim Rohingya.

Pernyataan itu muncul beberapa pekan setelah tim pencari fakta PBB untuk Myanmar (TPF Myanmar) mengeluarkan laporan bahwa para pemimpin militer, termasuk panglima tertinggi Burma, harus diselidiki dan didakwa di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dengan tuduhan bertanggungjawab dalam genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang, atas tindakan mereka terhadap kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk setengah juta muslim Rohingya, di Negara Bagian Rakhine Agustus 2017 lalu.

Dalam sebuah pernyataan terbaru, Jenderal Min Aung Hlaing menentang temuan tim pencari fakta PBB, dan menolak rekomendasi TPF bahwa dirinya dan rekan sejawatnya, mesti diseret ke ICC.

"Tidak ada negara, organisasi, atau kelompok yang memiliki hak campur tangan dan membuat keputusan atas kedaulatan suatu negara," kata Min Aung Hlaing dalam sebuah pidato pada hari Minggu 23 September, menurut surat kabar yang dikelola militer Myawady, seperti dikutip dari The National (24/9/2018).

"Berbicara mengenai ikut campur dalam urusan internal akan menyebabkan kesalahpahaman."

Laporan terbaru, yang dikemukakan di Jenewa pertengahan September 2018 lalu oleh Misi Tim Pencari Fakta terhadap Myanmar (TPF Myanmar) di bawah naungan Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Dewan HAM PBB, merupakan hasil penyelidikan selama kurang-lebih satu tahun, dengan mewawancarai narasumber dan saksi, meriset, dan menganalisis berbagai data yang ditemukan.

Dalam laporannya, TPF Myanmar menemukan bahwa Tatmadaw (nama asli angkatan bersenjata Myanmar) telah mengambil tindakan yang "tidak diragukan lagi merupakan kejahatan yang paling berat di bawah hukum internasional."

Laporan itu juga menyebut bahwa panglima tertinggi militer Myanmar, Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan didakwa atas dugaan mendalangi genosida dan kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara, serta mendalangi kejahatan perang di Negara Bagian Kachin dan Shan.

Pencarian fakta juga menemukan bahwa militer Myanmar terindikasi melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas terhadap Rohingya sejak 2011. Laporan itu juga menambahkan bahwa lembaga keamanan Myanmar lainnya juga terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut.

Misi pencarian fakta menyimpulkan bahwa ada "informasi yang cukup" untuk membuka penyelidikan genosida dan kejahatan perang terhadap jenderal-jenderal senior Myanmar.

Militer membantah semua kesalahan, dan justru membenarkan semua tindakan kerasnya sebagai cara yang sah untuk membasmi militan Rohingya.

Laporan TPF Myanmar juga menyebut bahwa pemerintah sipil, yang secara de facto dipimpin oleh pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, turut bertanggungjawab atas krisis kemanusiaan yang menimpa kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk muslim Rohingya, di Myanmar.

Merespons, pemerintahan Myanmar menolak temuan laporan PBB itu sebagai parsial dan cacat, serta menolak campur tangan mahkamah internasional terhadap krisis yang terjadi di Myanmar karena 'melanngar yurisdiksi terhadap negara yang berdaulat'.

 

Simak video pilihan berikut:


Daftar Figur Prioritas yang Harus Segera Didakwa

Etnis Muslim Rohingya, yang baru saja melintas perbatasan Myanmar menuju Bangladesh, sedang menunggu giliran menerima bantuan makanan dekat kamp pengungsi Balukhali (AP)

TPF Myanmar juga telah menyusun daftar pelaku yang harus diprioritaskan untuk penyelidikan dan pendakwaan, demikian seperti dikutip dari The Washington Post.

Daftar itu dimulai dengan panglima tertinggi, Min Aung Hlaing, yang sejauh ini selalu terhindar dari sanksi atau kecaman khusus dari pemerintah internasional, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Laporan misi itu juga menyebutkan lima komandan militer lainnya - wakil komandan utama Soe Win, Aung Kyaw Zaw, Maung Maung Soe, Aung Aung dan Than Oo, semuanya memimpin divisi militer yang melakukan operasi di negara bagian Rakhine dan tempat lain di Myanmar.

Maung Maung Soe termasuk yang pertama dijatuhi sanksi oleh beberapa negara dan dipecat --atau dikambing-hitamkan-- oleh militer Myanmar pada bulan Juni dalam sebuah gerakan yang secara luas dilihat sebagai cara bagi para pemimpin senior untuk menunjukkan bahwa mereka mengambil tanggung jawab atas krisis tahun lalu.

Dia memimpin Komando Barat, yang mengawasi negara Rakhine, hingga November lalu. Keputusan itu, yang menurut mantan pejabat tinggi militer, dibuat oleh Min Aung Hlaing sendiri, sangat tidak populer di kalangan militer, yang percaya dia dijadikan kambing hitam untuk melindungi lebih banyak pemimpin senior.

TPF Myanmar, yang didirikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB, merekomendasikan bahwa Dewan Keamanan merujuk situasi di Myanmar ke Pengadilan Pidana Internasional, atau membuat pengadilan pidana internasional ad hoc, dan memberlakukan embargo senjata pada Myanmar.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya