Liputan6.com, Jakarta - CEO Google, Sundar Pichai, memperingatkan seluruh karyawannya agar politik jangan sampai menghalangi pekerjaan. Jika sampai terjadi, maka akan ada konsekuensi yang harus dihadapi.
Pichai menegaskan Google tidak akan membiaskan produknya demi agenda politik apa pun.
Dikutip dari Business Insider, Senin (24/9/2018), hal tersebut disampaikan Pichai melalui sebuah memo internal kepada para karyawan.
"Kepercayaan para pengguna kami adalah aset terbaik dan kami harus selalu melindunginya. Jika ada Googler (sebutan untuk karyawan Google) yang merusak kepercayaan itu, kami akan meminta pertanggungjawaban mereka," tulis Pichai.
Baca Juga
Advertisement
Memo Pichai ini muncul saat perusahaan menjadi sasaran "bidikan" Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dan para pendukungnya, di tengah tuduhan bias politik.
Trump pada Agustus 2018 mengatakan, Google mengambil keuntungan dari banyak orang dan menuduh perusahaan mencurangi hasil pencarian terhadapnya.
Sebelumnya, Wall Street Journal mengungkapkan bahwa pada awal 2017, beberapa karyawan Google di internal mendiskusikan cara untuk memanipulasi hasil pencarian sebagai protes terhadap larangan perjalanan Trump.
Lebih lanjut, terlepas dari memo Pichai, tekanan terhadap Google terus bertambah. Pasalnya, Gedung Putih dilaporkan sedang mempertimbangkan investigasi antitrust terkait "bias platform online" di Google dan Facebook. Pihak Google belum berkomentar terkait rencana tersebut.
AS Siapkan Perintah Eksekutif Untuk Investigasi Facebook Cs
Gedung Putih dilaporkan sedang mempertimbangkan rancangan executive order (perintah eksekutif) untuk menyelidiki perusahaan-perusahana media sosial.
Melalui perintah eksekutif ini, lembaga antimonopoli dan badan penegak hukum federal bisa menyelidiki praktik bisnis Google, Facebook dan perusahaan media sosial lain.
Bloomberg News mengklaim mendapatkan rancangan printah tersebut. Menurut sumber internal Gedung Putih, rancangan printah eksekutif itu masih dalam tahap awal dan belum melewati lembaga pemerintah lain.
Secara terpisah, Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih, Lindsey Walters, dalam pernyataannya melalui email, mengatakan bahwa dokumen itu bukan hasil dari proses pembuatan kebijakan resmi Gedung Putih.
Dokumen rancangan tersebut menginstrukrikan otoritas antimonopoli AS untuk menyelidiki secara menyeluruh tentang kemungkinan platform online telah melanggar undang-undang antitrust (antipakat).
Selain itu juga menginstruksikan lembaga pemerintah lainnya untuk memberikan rekomendasi dalam waktu satu bulan setelah perintah eksekutif ditandatangani, tentang tindakan yang berpotensi "melindungi persaingan di antara platform online dan mengatasi bias platform online".
Di dalam dokumen tersebut tidak dicantumkan nama perusahaan apa pun, tapi diduga menargetkan deretan perusahaan teknologi.
Namun jika telah ditandatangani, perintah tersebut dinilai akan menggambarkan bertambahnya keengganan Presiden AS, Donald Trump, terhadap Google, Facebook, Twitter dan perusahaan-perusahaan media sosial lain.
Ia menuding platform-platform itu telah membungkam suara konservatif dan berbagai sumber berita online.
Dilansir Bloomberg, Senin (24/9/2018), juru bicara Facebook enggan mengomentari rancangan perintah eksekutif tersebut. Pewakilan media Google dan Twitter juga belum memberikan komentar.
(Din/Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement